October 29, 2009

Belajar-Diajar-Mengajar

Mengajar itu memahami, bukan dipahami. Mengajar itu mendengar bukan didengar dan setidaknya bagi saya, mengajar itu belajar walaupun ternyata belajar memahami dan mendengar sekian puluh kepala dalam satu kelas bukanlah jalan yang baik dan terpuji menuju kedamaian jiwa. Yap! jiwa saya, bukan mereka.

Tiga bulan saya menceburkan diri di dunia pendidikan kejuruan-swasta (lembaga pendidikan swasta kejuruan, ngerti kan?), sudah mampu membanting setir jiwa saya ke berbagai arah, kadang terlempar kesana-kemari dan berakhir nol. Gak ngerti harus gimana. Saya yang sebenarnya individu setengah temperamen dan gak sabaran seringkali terbentur fakta lapangan bahwa anak-anak dihadapan saya ini cuma bisa melongo setiap kali saya pakai tiket express explanation dan bahasa ketinggian. 'Sudah bisa dipahami?' saya bertanya dengan berbinar karena sebelumnya cukup yakin penjelasan beberapa detik lalu dapat mereka cerna dengan baik. Kelaspun hening, ada yang gigit-gigit ballpoint, ngeraba2 kertas catatan, beradegan manggut2 tapi bukunya kebalik, pijet-pijet kepala hingga rambut jadi gak karuan, melototin papan sampe gak kedip dan terakhir, saking desperatenya mungkin ya, lebih memilih melongok keluar jendela, menikmati arus sungai lalu senyum-senyum sendiri. Saya berdoa semoga dia tidak sedang menikmati gadis mandi di sungai karena air dirumah sedang mati. Semoga saja.

Oh no, saya nyaris bikin anak orang jadi sinting!

Saya coba pakai cara lain, slowmotion, kalem, longgar, santai, jijay, bajay.... Merekapun wes eweshhh ewessshhh..., lewat semua. Santai mampus. Sampai mampus. Tidak ada pancaran 'ahaaa!!!' di wajah mereka. Pertanyaan-pertanyaan saya malah dijawab dengan tampang sakau bantal. Kalau dulu jaman masih di kampus mah gampang, ada anak aneh sedikit, sikaaattt!!! Treatment singkat, dibolak-balik, uji konsistensi, beres. Lha ini? treatment kita sebatas bibir. Saya jadi sering ngejerit : 'ohhh...treatmentkuuuhhh hanya di bibir sajaaahhh...'. Itupun dengan kalimat-kalimat 'aman' yang tak perlu simbol bintang kalo misalnya harus dituliskan. Jadi suka atau tidak, bibir saya harus lebih 'sakti' dan kreatif demi mencari pengganti 'kata berbintang' itu tadi, dan proses menyaktikan bibir itulah yang mengaduk emosi. Walaupun saya cukup pede dengan bekal pengalaman adu sakti lawan Kajur lalu PD III dan terakhir VS Pak Dekan. Walaupun juga saya harus tumbang dengan membanggakan. 'Hai, Pak Kajur, apa kabar?' :)

Sampai mana tadi? oh ya, TREATMENT. Saya cenderung memilih untuk tidak percaya dengan doktrin para senior guru yang kerap berkata : 'Sudahlah bu, mau diapakan saja anak2 itu gak bakal mempan, yang penting kita harus tegas, keras, ganas dan disiplin, tanpa ampun pokoknya!, kalo gak gitu nanti kita sendiri yang stres'. 'Mereka ngeremehin kita bu kalo kita gak strict!'.'Mereka sudah dari sononya geblek Bu, bandel gak ketulungan!'

Ah, bukan, gak segitunya. Saya percaya mereka sesungguhnya sama saja dengan siswa lain dari sekolah favorit Negri misalnya. Perbedaan mungkin hanya terletak di background keluarga dan kondisi ekonomi. Mayoritas mereka itu 'broken home product', dibiayain tanpa perhatian semestinya, atau sebaliknya, diperhatikan tanpa biaya semestinya. Mereka mungkin hanya belum ngerti 'untuk apa saya sekolah', 'untuk apa saya belajar perpangkatan, logaritma, logika, teori ukuran, dan sederet daftar pelajaran lainnya', 'untuk apa saya jauh-jauh berangkat sekolah kalo akhirnya dihukum juga ketika terlambat masuk'. Mereka hanya belum punya jawaban atas ke'untukapa'an yg melayang-layang nakal dikepala. The most important thing is, mereka sepertinya tidak patut disalahkan, tidak patut jadi sasaran kejengkelan kita. Separah2nya mereka.

Tapi saya tidak mengelak kok, mereka juga harus disadarkan dengan sedikit ketegasan berbungkus kemarahan. Bukan kemarahan karena kita marah, tapi kemarahan karena kebutuhan.

Beberapa minggu ini saya terapkan model 'half game-half strict' di kelas. Saya endapkan emosi, dengan susah payah sih awalnya. Saya petakan kondisi kelas, membaca psikis siswa lalu tiba2 berkata : 'ok, mari kita bermain!'. Sekejap mata mereka sudah berubah menjadi anak kecil yang baru dapet mainan baru. Yaaayyyy!!! Ayo Buuu....!!!. Mukanya cerah, tawanya lepas, tangannya dikepalkan ke udara. Kalau begini, apapun instruksi saya sudah pasti mampu mereka tunaikan dengan cepat tanpa protes. Saya bahagia mereka bisa selepas itu, walaupun sejenak kelas jadi bergemuruh bising, walaupun biasanya setelah itu pengajar kelas sebelah menengok kelas saya dengan bersungut-sungut jengkel. I don't care. This is my class. Saya berhak bergaya apapun demi membahagiakan siswa saya. Oh, dan maaf sekali untuk keramaian sesaat tadi :).

Sejauh ini berjalan cukup baik. Saya tetap percaya, lebih baik bermain daripada memaksakan suatu materi saat semua wajah sudah kelipat-lipat. Resikonya adalah waktu. Saya bertaruh dengan waktu. Sekarang saya mulai bertanya, siapa sih yang mendesain paket materi-materi standart itu? 'Yang penting materi selesai, sesuai waktu' menurut saya adalah PEDOMAN GILA. Saya kok jadi pingin adu sakti sama mereka.

Saya hanya ingin siswa saya unik, kreatif dan bernalar bagus. Mereka ini sudah unik. sangat unik malah. Bagaimana dengan pandai? pandai itu menurut saya identik dengan stagnansi, saya ogah punya murid yang modal pandai saja, ke laut aja lah wahai -siswa modal pandai- dan kelaut aja wahai guru pemuja -siswa modal pandai-. 'Anda sebaiknya belajar untuk lebih kreatif', 'Saya butuh kreatifitas dan konsentrasi anda untuk bersama2 saya menuntaskan pelajaran hari ini', itu closing words yang sering saya lemparkan setelah permainan usai. Merekapun serentak menegakkan posisi duduknya, antusias kembali, segar kembali. Well done, guys!

Bagaimana dengan the 'strict part' nya? Ah, sepertinya tabu kalo saya beberkan disini, nanti saya digelandang polisi :D. Ya, push up-push up dikit lah, biar seger, perlu juga terkadang. Gak kok, selain itu paling-paling nyuruh mereka berdiri ngadep tembok, menertawai tembok, sampe akhirnya bergumam sendiri : 'Bu, saya ingin ikut pelajaran lagi...'.

:)

No comments:

Post a Comment