January 30, 2010

Natemi-Windarto II : Wanitaku Tak Setipis Itu

Buat Nata,
entah dimana.

Suratmu sampai. Dik Arsi tidak tahu dan tidak pula kuberitahukan padanya. Aku hanya bisa berdoa semoga suratmu tak meledakkan kubangan lahar miliknya lalu ia muntahkan menjadi magma di mukaku.

Aku malas meributkan sesuatu yang jelas akan mengantarku menjadi telur dadar gulung kornet di depan Dik Arsi. Aku jelas habis, tanpa sempat membacakan pleidoi, tanpa sempat naik banding. Lagipula aku malas terlihat buruk, maka hari-hari setelah suratmu tiba adalah hari penuh doa dan waspada. Tanganku gemetaran membuka dan membaca tulisanmu. Gemetar bahagia, cemas, takut atau campuran ketiganya, aku tak paham benar. Tapi aku gemetar. Segemetar-gemetarnya. Kau ini selalu ada-ada saja dan aku selalu tak berdaya untuk tetap tegar. Suratmu tak mampu kuacuhkan.

Apa kabarmu? Semoga baik, sepertiku. Hari-hariku habis untuk mengurus bisnis perkebunan milik keluarga. Ayah sudah mulai renta, Nat. Beliau tak mungkin lagi mondar-mandir keliling Jawa untuk memastikan kebunnya baik-baik saja. Anak laki-laki yang sejatinya Sarjana Teknik Perminyakan ini dirayu habis-habisan untuk menggantikan beliau. Aku sangsi dengan diriku sendiri. Semoga pilihan ayahku tidak salah. Anggap saja suatu hari nanti aku mampu menjadi penemu minyak bumi sari daun pisang atau bahan bakar uap durian dan buah naga sebagai energi pengganti bensin. Pasti menggemparkan.

Ah, durian, selalu berhasil mengingatkanku padamu. Saat ini, aku sedang bertandang ke Mataram, mengekspansi kebun durian milik rekanan ayah yang nyaris gulung tikar. Berada di antara pohon durian yang menurutku menyeramkan, entah kenapa aku ingat suratmu yang belum juga kubalas disamping juga mengembalikan semua memori tentang keributan demi keributan setiap kali musim durian tiba. Kau ingin membelinya dan aku tak pernah sudi menemani. Kau pecinta buah aneh itu. Aku, lebih baik kau kentuti daripada harus bertemu wujudnya.

Aku tak tahu sedang berada di belahan bumi mana kau sekarang. Kau pasti sudah hampir khatam 'mengukur jalan' hingga nyaris ke kutub utara lalu memutar kembali ke selatan. Kau pasti sedang mengejar mimpimu untuk menguasai semua resep masakan seluruh dunia. Merintis pendirian restoran di tiap negara dan mempunyai acara sendiri di Asian Food Channel dengan setting alam terbuka lengkap beserta peternakan sapi di sekitarnya.

Baumu tak lagi tercium olehku sejak Sabtu siang mempertemukan kita; aku, kau dan Dik Arsi. Sabtu siang terakhir kita, juga Sabtu pertama kami. Hari pertama aku membawanya dibelakangku, diatas motor setengah baya menjelang purba yang acapkali kau naiki sembari kau cela. Ya, motor tak pernah mandi itu. Kau selalu berjingkat hati-hati ambil posisi, tak sudi tertular butir-butir lumpur yang aku sendiri lupa sudah berusia berapa minggu. Kalau Dik Arsi? aku belum tahu. Belum kutamatkan tingkahnya. Aku hanya tau sepertinya sampai saat ini dia bahagia. 

Kenapa? Ah, sekarang kau pasti sedang tertawa membaca kalimat terakhir tadi. Seperti tawa kecutmu yang nyaris luput terbaca saat sorot mata kita saling tertumbuk dan tanganku masih menggenggam tangannya. Ada apa ini, seingatku kita masih sesama pengutuk segala macam tayangan reality show aneh itu kan? Mereka yang menayangkan hal tak masuk akal, kamera sliweran, klien dan target bermusuhan, satu mengejar lainnya, si A mengintai si B, Si X merekam si Y lalu kepergok si Z, akhirnya berantem, saling lempar, jambak-menjambak, mengumbar makian dan tak pernah berujung jelas.

Aku sempat berbisik nanar sendiri, kenapa langit Sabtu menata kita bertiga tepat di tempat yang sama. Semua kata tanya aku gumamkan didampingi barisan serapah sambil memainkan sendok kecil adukan kopi yang Dik Arsi pesankan pada pelayan sepuluh menit lalu dan tingkah kacauku hanya membuat kopi itu tak bisa segera terteguk, ampasnya melayang terus. Bodoh. Bahkan bibir Dik Arsi yang masih terus bergerak pun tak dapat tertangkap jelas, sepertinya dia masih bercerita. Sampai mana, aku tak lagi ingat. Aku sibuk menenangkan diri, mengusir gemuruh pesawat tempur Amerika yang baru saja lepas landas dari kapal induk di tengah samudera dan melintas tepat 5 meter di atas kepalaku. Terbayang kau tergopoh-gopoh menghampiri kami, mencaciku sambil meraih cangkir kopi lalu berakhir dengan kepala dan mukaku penuh berlumur ampas minuman hitam pekat itu. Dik Arsi pasti terkejut dan tak terima. Saling geret rambut pun terjadi. Persis seperti tayangan-tayangan minim edukasi yang kita kutuk bersama. Imajinasi gugupku mulai tak terbendung.

Eh, Sebentar. Tintaku habis. Kupinjam pena si Zulmi dulu.

Aku mengenalmu Nat. Khayalanku memang sama sekali tak masuk akal. Kau bukan wanita berperasaan setipis kertas buku berlogo pesawat biru jaman aku SD dulu, tergores karet penghapus sedikit saja sudah robek. Kau ini anti api, anti gores. Dibakar tak bakal mempan, digosok pun tak akan mudah . Tapi otakku terlalu kacau untuk memenangkan pengertianku tentangmu. Hingga teguran lirih serta tepukan lembut Dik Arsi ke punggung tanganku akhirnya mengembalikan sebagian warasku. Kau mungkin juga sempat melihat adegan konyol itu. Aku sungguh merasa begitu bersalah. Kau tau apa pembelaanku? 'Ceritamu terlalu panjang Dik, aku jadi bingung'. Dia hanya manggut-manggut, minta maaf seperti anak kucing, merajuk ingin digendong majikannya. Oh, shit! What the hell am I doing, Nat?!

Aku kelimpungan. Kau begitu datar. Jari-jarimu menari tenang pada keyboard komputer jinjing yang kau beli bersamaku. Aku masih ingat waktu itu kau tetap ngotot memilih warna coklat tua meski aku berkeras meyakinkan bahwa warna merah hati akan lebih cocok untukmu. Dasar keras kepala. Bukankah semua wanita pasti bangga dengan pilihan dan perhatian pasangannya. Kau justru melakukan sebaliknya, melawanku dengan setumpuk perbedaan yang sangat disengaja lalu tersenyum meringis melihat aku manyun menahan kesal. Pacar macam apa kau ini? Oh, tapi aku sempat melihat stiker Tazmania masih melekat di sana. Bukankah itu pemberian putus asaku setelah akhirnya merah hati tumbang melawan coklat tua?

Kau juga sangat 'baik-baik saja' ketika tiba-tiba menghampiri kami berdua, memberi salam pada Dik Arsi, mengenalkan dirimu sebagai sahabat kentalku. Tak paham, mantra apa kau tiupkan di ubun-ubunnya, bahkan dia masih tertawa lebar saat kau raih badan linglungku ke pelukanmu. Dia memang nampak terkejut, tapi tak sedikitpun terlihat geram. Dia sungguh mempercayaimu, Nat. Ya Tuhan, semoga kelak Dik Arsi masuk surga.

Pelukan itu, pelukan terakhir, begitu mungkin maksudmu. Aku bisa merasakan kau mencengkeram pelan pundakku, hal yang selalu kau lakukan setiap kali hari buruk datang padamu. Seperti dulu, sehari setelah kakekmu meninggal pun kau lakukan hal sama. Meraihku sekian detik, melepaskan beberapa hela nafas berat lalu kembali tersenyum. Sabtu itu, aku mengenalinya lagi, nafas yang kau lepas di balik punggungku. Kau memang gadis pintar, Nat. Mencoba sembunyi rasa dariku dan Dik Arsi. Wanita lugu itu mungkin bisa kau belokkan. Tapi aku masih mampu membaca hatimu.

Aku semakin kacau. Memelukmu, dengan muka menghadap Dik Asri. Aku ingin mati saja, keracunan kopi atau tersedak kursi.

Surat ini seharusnya tidak perlu ada. Kita hanya akan menyiramkan sari jeruk nipis di masing-masing hati. Aku tak mengerti mengapa kau yang sekeras itu tiba-tiba mendatangiku hanya dengan sepucuk surat cengeng berhiaskan beberapa noda tetesan air pada kertasnya. Tidak mungkin itu keringat, apalagi air liur. Ayolah, kau sudah berkesimpulan, Nat. Aku sudah memohon.

Kau meringkas 6 tahun kita beserta penghakiman bahwa impian kita tak pernah sama, bahwa mata kehidupan kita nyaris selalu berseberangan. Kau tak bergeming bahkan untuk mendengar harapan-harapanku. Pesta perpisahan secara wajar pun tak pernah punya kesempatan untuk kuhadiahkan untukmu. Kau tak mengerti seputusasa apa aku malam itu. Saat jurus-jurus permohonan konyolku tak lagi mampu menahanmu.

Kuatlah. Aku juga akan kuat. Jangan mendatangiku kembali bila hanya berbekal surat rapuh yang membuatku tak lagi mengenalimu. Jangan mengatakan kita tak lagi punya waktu karena kita juga yang sudah memupusnya. Setidaknya bersamamu aku sudah belajar. Belajar mencintai seorang wanita keras kepala. Mengerti bahwa ternyata ada juga wanita yang tega mengupil atau buang angin tepat di samping pasangannya. Mengerti bahwa kau ini tak biasa, pelawan arus kewanitaan yang demikian cerdas dan susah tertebak. Pemimpi yang tinggi dan luas. Seluas dunia, bahkan angkasa.

Aku berterima kasih telah memiliki episode hidup bersamamu.

Sudah ya, Nat. Semoga surat ini bukan kesalahan. Aku jatuhkan ini dirumahmu. Semoga tersampaikan. Semoga kau bahagia. Aku hembuskan satu-dua asap tembakau bakar disini. Kelak, ketika surat ini sampai, semoga aromanya masih ada dan tersisa untuk kau hirup dalam-dalam.

Salam Bahagia,
-Win-
NB : Aku. Selalu. Rindu. Mencintaimu.

No comments:

Post a Comment