April 03, 2010

"I Love You"

"Baik-baik ya, Be", Rimba menjabatku, tiga detik dan menyapu pipi kiriku, dua detik. Dia tersenyum. Berusaha, lebih tepatnya.

Aku, butuh sepuluh detik untuk mengkhatamkan rautnya. Menikmati definisi terakhir kami sebagai suami istri. Merasai sentuhan terakhir yang segera akan menjadi tabu begitu aku menapakkan kaki keluar dari ruang penghabisan sekaligus penasbihan ini. Aku mencubit pipi kanannya. Hangat.

''Makasiiih, my dear Rere", "Baik-baik juga, jangan lupa buatin aku ponakan yang lucu-lucu ya, hihihi..."

Tidak ada pelukan. Apalagi kecupan. Rimba tidak cukup berani melakukan pertunjukan penutup itu di hadapan ibu dan Kania. Mereka berdiri bagai sipir penjara di belakang suamiku. Oh, mantan. Mulai lima belas menit lalu.

''Be, I love ...''
''Sssstttt..."

Jariku mengatupkan bibir Rimba. Ia tidak berhak merusak kenyataan yang semalam susah payah aku doktrinkan pada diri sendiri di depan cermin kamar mandi hanya dengan sepotong I love you, password mujarab kita dimana-mana. Mau mandi, bilang I love you. Pergi ke kantor, I love you. Pergi tidur, I love you. Bangun tidur, belum gosok gigi, tetep I love you. Habis berantem, rayuannya I love you. Sedang tidak ada masakan, keluarkan jurus memelas seribu alasan plus I love you

Ya, sepuluh tahun hidup di 'I Love You' land, dan kami harus tenggelam begitu saja, menyerah pada waktu. Aku belum bosan, begitupun Rimba. Kalah, atau katakanlah mengalah, atau hanya sesederhana kata ini : 'berhenti'.

Konsentrasi, Nabil. Kon...sen...tra...si...

''Pamit, Re, ditunggu Papah di luar"
''See you, Be..."
"..."

Tepukan di lengan Rimba aku jadikan salam pelepasan. Ya, Re. See you without those kinds of 'I love you'. 

Aku benci melihat mata Rimba menjelma menjadi mata anak kucing kehilangan induknya. Tidak ada pilihan lain, tempat ini semakin menyesakkan dengan Rimba disitu sebagai pemeran utama dan aku sebagai awak film yang di-PHK. Aku beranjak, setenang mungkin.  Semakin cepat, hingga tahu, mempercepat langkah ternyata membawa efek akselerasi penguapan air asin. Paling tidak, aku tidak perlu tengadahkan kepala untuk menyeimbangkan kantung mata, memastikan supaya tidak ada sesuatu meleleh dari sana. Dari jauh, telingaku masih saja nakal menangkap suara Mama Mirda meminta Rimba mengantar Kania kembali ke kantornya. "Kan satu jalan, Nak, ndak terlalu jauh kok dari sini".

Kania, gadis cantik keturunan Padang-Jepara, tiga minggu lagi akan dinikahi Rimba. Wajar. Toh, kalau saja aku ini pria, sudah pasti aku juga akan ndlosor sambil ngiler mengagumi gemulai lakunya. Satu lagi yang lebih penting, dokter keluarga Rimba menjamin 100% kesuburan Kania. Tidak seperti aku yang selalu harus menerima vonis menahun : "Ibu normal, tapi... bla bla bla..."

Seharusnya tidak ada tapi, bukan? Aku normal. Rimba normal. Kami hanya perlu mencumbui waktu. Itu yang kami percaya sampai deadline dari ibunya tidak sukses terpenuhi. Lima tahun, ditambah lima tahun lagi hasil mengemis waktu pada beliau sambil menekuni ikhtiar medis dari segala penjuru dunia. Zero result. Sudahlah, aku tidak perlu mengemis lagi. Biar Rimba juga tidak perlu terus bersitegang dengan keluarga besarnya. Maka malam sebelum ia disabda ibu untuk meninggalkan rumah, satu bulan sebelum hari ini, kami membuat pesta perpisahan kecil di kamar. Tanpa air  mata. Tanpa tanya. Aku dan dia hanya terjaga berdua. 'I love you' terucap beratus kali. Kami sungguh bagai dua manusia yang baru saja dipertemukan di peraduan. Sampai pagi datang, menemukan dua manusia berpelukan.

Papah tersenyum melihat aku berjalan ke arahnya. Rambut putihnya mengkilat memantulkan cahaya yang entah mengapa membuat mukanya seolah bercahaya. ''I love you, Papah'' aku bergumam di hati. 

"Kemana kita, Bil?"
"Papah mau kemana? Nabil ikut aja, kan lagi off di kantor"
"Langsung ke rumah aja ya? Mamah udah masakin kamu kepiting telor asin"
"Yes, daddy!"

Aku tertawa lebar, berkeras membayangkan daging kepiting berenang-renang di perut. Papah sumringah dari tadi, sambil bersiul panjang setiap mobil VW Combi kami terpaksa terjebak di lampu merah perempatan. Beliau sibuk mengamati monumen Adipura di tengah kota sambil berseloroh sendiri bermain sarkasme. Aku, akhirnya punya waktu menyempatkan diri membuka tas, mengintip sekali lagi kertas cetak biru dari Dokter Antonius Chandra, Sp.OG. , dokter langganan Mamah sejak aku belum lahir.

"Nyonya Nabila Rahman, PREG HCG EIA POSITIF"

Solo seketika hujan. Aku kedinginan.

Ah, Rere. Nampaknya, waktu sedang mencandai kita. Sedemikian lucunya.



7 comments:

  1. remba adhitama yudian4 April 2010 at 01:57

    Gud...
    itu baru ending...
    dr doeloe, kek...
    semua tulisanmu yg endingnya benar2 ending ya ini... congratz!

    ReplyDelete
  2. maturnuwun...:)
    hasil belajar keliling dunia blog, hehe!

    keep criticize me, bro. Mana ejekanmu? :P

    ReplyDelete
  3. remba adhitama yudian4 April 2010 at 08:24

    mau?!
    pembukaannya kurang ada magnetnya... loe maksa org buat ngertiin gaya loe...
    sdh gw coba mbaca dgn posisi sbg gw yg kenal loe sm sbg org yg g kenal... n hasilnya beda. loe ngerti kn kamsud gw?!
    ini penting, loe harus bisa bedain yg mana "kami" yg mana "kita".
    sip?

    ReplyDelete
  4. Ok, saya agak terganggu dgn 'loe-gw' mu itu. Abis ksurupan dmn?
    Iya, bs dtrima sarannya. Ntar saya baca balik lg :)
    Arigatou!

    ReplyDelete
  5. itu namanya point of view, darimana loe memposisikan diri dalam diri tokoh..... coba belajar lepas jadi orang yang serba tahu..... tanpa masuk jadi tokoh..jadi tersamar dehh...siapaloe, siapa gue....biar yang baca yang mikir dewe????????

    ReplyDelete
  6. cuma bisa bilang klo ceritanya keren hahahaha..
    terlepas dari bagaimana caramu bercerita.tapi inti ceritanya cukup membuatku tersenyum :)

    ReplyDelete
  7. hatur nuhuuun, Ida...
    senang bisa membuatmu tersenyum :)

    ReplyDelete