June 13, 2010

Sinless

Entah apakah saya termasuk golongan pengajar berjiwa normal atau tidak. Tapi terkadang, saya merasa punya kecenderungan untuk kurang apresiatif pada siswa superior. 

Ini bukan kebencian. Saya hanya kurang mampu tertarik oleh mereka yang dengan tangan selalu lebih dulu diatas daripada siswa lainnya memborong semua jawaban, dengan muka terlampau serius mengerjakan soal latihan hingga rekan sebangku dianggapnya tak hidup, dengan celetukan jawaban, selalu tak sabar memotong penjelasan saya atas kebingungan mayoritas anggota kelas, namun justru enggan berbagi ilmu bersama teman yang bahkan tidak pernah mengerti apa yang sedang ada di pikirannya.

Mereka yang selalu tersenyum tak simetris saat salah satu temannya bertanya : "Kenapa ya, dua dikurangi negatif lima hasilnya negatif tiga?"

Siswa super pandai memang seringkali membanggakan. Sebenarnya saya juga tak perlu banyak mengeluarkan energi demi membuat mereka mengerti suatu teori. Mereka seolah tak bercela sehingga mengajar jadi terasa lebih ringan. Tapi entah mengapa, bersama mereka, saya tak pernah menemukan 'sesuatu'. Tidak ada perjuangan disana. Satu-satunya adegan seru yang saya tunggu setiap kali bertemu mereka adalah pertanyaan-pertanyaan ajaib yang entah darimana datangnya. Mereka sungguh spetakuler.

Harus saya akui, sebagai seorang pengajar, memiliki siswa dengan kemampuan di atas rata-rata adalah hal melegakan. 

Namun di sisi lain, saya ingin katakan pula bahwa kepercayaan untuk menangani siswa berwawasan biasa saja namun berkeinginan besar untuk menjadi tak biasa adalah kebahagiaan tak terduga. Ya, I know, mungkin memang benar, saya tidak terlalu wajar untuk ukuran pengajar.

Semoga ini tidak salah. Saya mencintai begitu saja segala macam perubahan emosi yang terjadi bersama mereka, siswa-siswi biasa itu. Saya ketagihan mengalami naik-turunnya perasaan yang wajib dikawal dan dibendung arusnya, supaya mereka tidak sampai menangkap muka depresi orang di depannya ini. Saya harus memastikan mereka tetap melihat senyum ketenangan, bukan seringai keganasan. 

Selalu saja ada luapan keanehan, kemarahan, gregetan, kelucuan, ketiadaan kata-kata, kehabisan stok penjelasan  dan keinginan bawah sadar untuk menganiaya lahir dan batin anak-anak seperti ini. Saya menikmati proses itu. Terlebih ketika saya balik bertanya untuk pertanyaan kebingungan sala satu siswa : "Bagian mana kira-kira yang kamu ndak paham?"

"Ndak tau, Bu. Pokoknya saya ndak ngerti."

Dia ngowoh, saya juga ngowoh. Kalau saja waktu itu tekanan darah saya sedang diukur, mungkin angkanya melonjak drastis sampai jarumnya jebol.

Siapapun pasti setuju, tidak ada yang tidak memuja kesempurnaan. Tapi sepertinya juga ada sebagian kita yang berpendapat bahwa tidak ada yang lebih indah dari menemui kesalahan dalam setiap perjalanan kita menuju kebenaran.

Lalu tadi siang, secara kebetulan saya membaca tweet berhashtag #sundaysermon dari Ulil Abshar Abdalla, seorang aktivis muslim, co-founder dari Jaringan Islam Liberal, anggota Nahdatul Ulama, pencinta buku, film, guyonan, donat dan Luna Maya yang baru beberapa hari saya follow karena tertarik dengan beberapa tweetnya. Ini dia :

"Living a thoroughly sinless life is just boring. Even GOD is not happy seeing it :))"

Lepas dari kebenaran pendapat beliau, saya hanya menemukan hati yang tiba-tiba menjadi hangat perlahan dan bibir spontan tersenyum begitu membaca sebaris kalimat tadi.

Ya, bahkan (mungkin) Tuhan pun tak terlalu menghendaki makhluknya menjelma menjadi sosok yang (sok) lurus dan sempurna. Tanpa cela. Bukankah Ia tak pernah murka pada mereka yang 'dekil' namun terus bertanya dan mencatat makna?

Semoga :)

4 comments:

  1. Selalu suka baca cerita tentang murid2 mu...

    Nampaknya kmu begitu menikmati proses mendidik dibandingkan hasil dr didikan..

    Pasti lebih berwarna bersama anak2 biasa yang berusaha menjadi luar biasa..krn ada suatu proses yang dilewati..itu kan yg kmu nikmati..

    Selamat siang bu guru

    ReplyDelete
  2. Selamat siang, inspiratornya Bu Guru :D

    bener mbak, rasanya kayak abis olahraga, kringetan trus mandi. Sensasi yg menyegarkan. Bersyukur sekali... :)

    ReplyDelete
  3. Karena mengajar itu panggilan jiwa. angkat topi untuk dirimu dan pendidik lainnya yang mendedikasikan talentanya untuk "memanusiakan" manusia.

    ReplyDelete
  4. makasih Mbak Nyunyu :)
    mana topinya?

    ReplyDelete