June 22, 2010

Spasi

Kadang, suatu perjalanan butuh ditinggalkan. Entah dengan beberapa langkah maju atau berlangkah-langkah mundur.

Jika sebaris tulisan direstui untuk menjadi analogi dari satu musim perjalanan, maka selalu ada waktu dimana kalimat tak juga berujung, kata berserakan tanpa makna, segala macam imbuhan gagal memainkan peran, dan tanda baca bagai kehilangan identitas sakralnya. Ada saat dimana rangkaian kalimat mulai terasa aneh dengan titik yang tertukar oleh koma dan tanda seru berganti tanda tanya.

Kursor yang terus berkedip tepat di sisi kalimat terakhir pun tak jarang hanya bisa menyumbangkan kebuntuan. Tubuh yang seharusnya bersinergi mesra demi melahirkan sebuah tulisan secara tak terencana mengalami perubahan wujud seperti ini : jari tak bergerak, otak mendadak diam, syaraf-syaraf  di sekitar mata mulai berdenyut, leher belakang terasa bagaikan sedang ditumbuhi akar tunjang pohon beringin dan hati seolah sedang kabur entah kemana.

Kita hanya menyisakan sepasang mata putus asa yang setidaknya masih mampu bertanya: "Bagaimana lagi?", "Seperti apa kelanjutannya?", dan "Mau dibawa kemana?

Bagi saya, mungkin yang dibutuhkan hanya menekan tombol spasi atau enter beberapa kali. Menyisakan ruang dan waktu kosong sampai paragraf-paragraf tulisan tadi sementara tak terlihat. Toh, kita sepertinya tak perlu memaksakan jawaban atas semua pertanyaan diri sendiri saat seluruh fitur tubuh sedang tak mendukung. Menulis dengan terpaksa akan lebih identik dengan menekan tombol backspace berkali-kali. Satu kata diketikkan, sekian kali pula backspace ditekan. Ah, kalian para penyuka dunia tulis-menulis tentu sepakat dengan saya.

Backspace hanya akan mengacaukan tujuan awal. Tapi spasi dan enter, membiarkan kita melihat dari kejauhan, melebarkan bingkai mata, melihat yang sebelumnya belum terlihat, lalu kembali lagi untuk meneruskan cerita.

Perjalanan, sama halnya dengan tulisan, mungkin hanya sekedar butuh spasi. Sesuatu yang menghadirkan jarak, jeda, atau ruang untuk dapat bertemu kembali dengan kesesuaian yang wajar. Ada kalanya kita merasa terlalu sesak dengan bermusim-musim perjalanan yang kita ciptakan sendiri. Perjalanan yang tiba-tiba didalamnya dibubuhkan titik, seketika dituliskan tanda tanya, kemudian koma, tanpa kita mengerti apa yang sebenarnya terjadi, sudut mana yang seharusnya kita diami, dan ide apa yang sungguh layak diperjuangkan.

Spasi mengijinkan seluruh indera menayangkan kembali rekaman semua perjalanan. Suka atau benci, baik atau buruk, benar atau salah. Apapun wajah episodenya, tampaknya itu tidak terlalu penting, karena di ruang spasi, proses ini hanya sebuah tayangan, bukan kesaksian di pengadilan. Kita tak perlu menjadi jaksa bagi diri sendiri, apalagi menjelma sebagai hakim yang mevonis ini dan itu.

Spasi menghadiahi kita jarak untuk dapat leluasa melihat ke dalam dan ke luar. Ia memberi kita waktu untuk memahami makna dari setiap perjalanan yang dulu hanya sempat kita lewati begitu saja.

Ya, kadang kita hanya butuh spasi demi percaya bahwa cerita belum mati. Beberapa langkah maju atau berlangkah-langkah mundur demi mengerti, masih ada sesuatu yang layak diperjuangkan.

8 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. ewp, itu kenapa komen pertama pake dihapus sgala? :P
    Mbak Tt, thank you..., happy reading then :)

    ReplyDelete
  3. jangan pake enter kalo masih nambahin diatasnya ptr..di Ms Word kan bisa insert new page, hehehe...

    ReplyDelete
  4. hehe! benar juga kamu, adek kecil :D

    ReplyDelete
  5. Bu ni'mah, aku akan merindukanmu :) tarararengkyu sudah mampir kesini, senang sekali punya tamu seperti ibu :)

    ReplyDelete