August 14, 2010

Menitip Langit


-Mojokerto, 13 April 2010, 19.45-

"Cis, tenda lima, peserta 32, emerjensi, segera!"
"Siap, Pak"

Pak Anshar, pria berkumis lebat dengan rahang hampir serupa kubus ini tidak pernah percaya padaku, Senior Trainer yang sudah tujuh tahun mendampingi beliau mendirikan Sekolah Alam pertama di Jawa. Panggilan serupa petugas UGD seperti tadi telah nyaris lima belas kali berdengung di telinga, hari ini, pada tenda dan peserta yang berbeda. Training sudah berjalan dua hari, aku semakin tak punya alasan untuk merasa tenang, bahkan si Rahang Kubus pun merasa tak sudi mengamini saran tim survey dan para trainer sebulan lalu untuk meniadakan atau setidaknya menunda acara yang aku beri gelar 'Outbond Gila di Bawah Umur' ini hingga kondisi alam dan tim memungkinkan .

Seharusnya aku memandu, bukan merawat peserta yang setiap ingin buang air besar saja harus berairmata dan menasbihkan nama mamanya masing-masing.

"Kamu paling senior, Cis", "Anak-anak kelas satu pasti bisa kamu handle"
"Tapi SDM lagi mepet, Pak", "Si Adam juga lagi saya kirim ke Bogor, ekspansi disana"
"Cuma 50 anak, Cis", "Ini penting buat promosi kita, bulan depan sudah PSB, lho!"

Baiklah, promosi. Demi tujuan mulia yang Pak Anshar sebut promosi, aku harus menggembala lima puluh anak berumur tujuh tahun untuk bergelantungan di pepohonan hutan Pacet tanpa seorang pun rekan yang setidaknya mengerti bagaimana harus menangani anak kram perut tanpa mesti tergopoh-gopoh datang, melapor ini dan itu. Sungguh sempurna. Adam, partner in crimeku sepertinya adalah satu-satunya orang yang pantas dirindukan saat ini.


Aku tidak punya waktu melihat daftar peserta begitu mendengar suara Pak Anshar demikian panik, setengah gemetaran. Tenda lima tak jauh dari Pos, semua peralatan kesehatan terpanggul serampangan. Mungkin dari kejauhan aku lebih mirip kura-kura ninja daripada koordinator pemandu merangkap koordinator lainnya, beranggota mahasiswa-mahasiswa baru gede dimana respon mereka selalu tidak kurang dari setengah jam setelah datangnya panggilan darurat.

Mataku langsung tertuju pada anak laki-laki yang duduk meringkuk di pojokan tenda. Dia terdengar mengigau, menggigil hebat.

"Sayang, ini Ibu Cisty, boleh tau nama kamu?", aku membaringkan tubuh yang separuh seperti es dan sisanya hampir mendidih.

-Bandung, 19 Januari 2001, 15.04-

"Kamu suka kata apa, Cis?"
"Hah? apaan?"

Pertanyaan aneh lagi. Liangga lama-lama lebih mirip guru spiritual daripada pasangan. Aku sering menggodanya dengan panggilan Ki Ageng Liangga jika ia sudah memancarkan sinyal keanehan yang menggemaskan, bahkan lebih sering terasa menyeramkan.

"Kata, Cis, sebutin kata yang paling kamu suka.."
"Oh, mengembara, jelajah, kelana", "Kenapa?"
"Aku suka langit"
"Oya? gak nanya ..."

Jitakan tangan kirinya terbang ke kepala, sementara Toyota Corona membawa kami meluncur menuju jalan Braga, mengunjungi galeri seni kawan Liangga, yang juga membawahi usaha percetakan undangan dan desain cinderamata unik khas Bandung. Katanya, si kawan bersedia dengan ikhlas diuber deadline dua bulan demi pernikahan sahabat masa kecilnya. Ya, pernikahan kami.

"Lusa aku ke Sulawesi, Ngga", "Semingguan mungkin disana"
"Pentingkah? sebulan lagi, Sayang", "Aku gak mau kamu ditelan Anoa disana"
"Anoa mah udah jinak, kamu aja bisa aku jinakin"

Sulawesi adalah debut pertamaku dan Adam di daerah konflik. Ini tidak mungkin disia-siakan. Sebelum merasai pelaminan, aku harus mencium Sulawesi dan mengecap rasanya. Berbagi sesuatu dengan penduduk pedalaman yang tidak mengerti apapun selain perang saudara dan hasutan berkepanjangan. Semua sudah disiapkan. Tidak ada alasan untuk tidak berangkat, termasuk rengekan Liangga ketika tahu wilayah operasiku adalah Sulawesi tengah. Daerah Poso. Aku, dengan spontan dan serius malah menawarkan voucher bulan madu kesana. Bukankah ide itu sangat seksi dan eksotis? Dia bilang, mungkin aku gila.

"Eh, gimana kalo 'Kembara Langit Semesta', Cis?"
"Buku baru kamu?"
"Anak kita, nanti..."

Aku menatap dia, cukup lama. Liangga akhirnya membuka mulutnya setelah tersenyum dan sadar bahwa aku bukan lagi menatap, tapi lebih terlihat melotot.

"Junior, Cis, biar kamu gak lagi hobi keliaran keliling Indonesia"

Liangga, sejak dulu tak pernah suka hobiku menapaki pelosok nusantara. Terakhir, dia ditemukan Adam, tidur beralaskan selembar koran di pintu hutan Papua hanya untuk memastikan tunangannya -Aku, bukan Adam- pulang tepat waktu tanpa memohon perpanjangan waktu sehari pun. Kali itu, dia mirip petugas imigrasi berprestasi yang berhasil menggiring imigran-imigran gelap.

"Mmm..., baguslah, berasa kayak pesawat ya ntar dia, kasian"
"Bagus dong, pasti gak bakal ada yang punya itu nama!"
"Boleh boleh, tapi yang penting Poso dulu nih"
"...."

Jalan Braga pun sepertinya sudah menunggu di ujung sana. Aku alpa mengenai konsep undangan dan buah tangan seperti apa yang Liangga pesan dua bulan lalu pada kawannya itu. Bagiku, yang penting adalah tiket menuju Sulawesi sudah ditangan, terstempel petugas imigrasi lokal, yang sedang duduk manis di sampingku.

-Mojokerto, 13 April 2010, 20.34-

Aya, anak di pangkuanku ini masih terus mengigau dan menggigil. Segala macam pertolongan pertama sudah dilakukan. Aku terus memastikan dia tetap sadar, sambil mengumpat dalam hati Ambulans yang seharusnya sudah ada disini setengah jam lalu. Damn! Aku pernah seperti ini di hutan Poso, sembilan tahun lalu, nyaris 'habis' tanpa ramuan menjijikkan tapi menyembuhkan ala Adam -Sensei jadi-jadian-, dan sisa ingatan bahwa akan ada anak manusia terjun dari tebing Tangkuban Perahu begitu aku tidak muncul di bandara sore itu.

Pak Anshar membisikkan sesuatu, hingga aroma Fishermen Freshnya tercium hidungku. Ah, sempat ya Bapak ini ngemut permen?!

"Cis, Ambulans siap, tapi orang tuanya juga sudah disini, gimana?"
"Kita anter sampe beres aja, Pak"
"Kamu ato personil nih yang hendel?"

Kepanikan mungkin membuat jiwa Rahang Kubus ini agak susah membuat keputusan. Aku sendiri mendadak antusias untuk terus mendampingi Aya, setidaknya sampai dia dirawat semestinya. Ini melelahkan, tapi Aya terlihat memohon melalui tatapan matanya. Aku menyerah, tatapan ini seperti tak asing di otakku dan aku selalu kalah.

"Saya atur, Pak. Mereka biar standby disini, pantau yang lain"
"Oke, kamu beresin barangnya, Mamanya tadi minta begitu", "Saya tenangin mereka dulu"

-Poso, 29 Januari 2001, 16.25-

Perjalanan menuju bandara harus tertunda oleh perang batu dan bom molotov di mana-mana. Hujan lebat dan kerusuhan sejak siang tadi memaksa Adam menarik tubuh demamku ke arah pedalaman paling dalam dan tak jelas arah. Kami berakhir kurang beruntung dengan terperosok jauh di lembah jurang yang entah mengapa bagiku lebih terasa bagai melayang di surga. Terlalu banyak kembang warna-warni di sana, maka kombinasi antara halusinasi orang demam tinggi dan kembang dimana-mana membuat aku mengira, Anneke Cisty, sepertinya baru saja meninggal, menjumpai Tuhan. Adam, entah dimana. Aku hanya sayup mendengar jerit ketakutannya.

"Cis, bangun, Cis! Lu jangan mati dulu dong, bareng deh kalo mati, daripada sendirian di jurang begini"

Nafasku masih panas, sudut mataku menangkap siluet Adam, menepukkan tangannya ke pipiku. Ah, ini pasti bukan surga, mana mungkin si Adam ada disana? Maka, satu-satunya kemungkinan adalah, aku belum mati dan demam super tinggi ini belum pergi. Sungguh bagus, semoga lembah jurang hutan Poso adalah tempat berguna untuk penyembuhan.

"Males gue mati bareng lu, gak berkah..."
"Kampret lu, kita belom bisa kemana-mana, Cis, kaki gue kayaknya retak"
"Kaki lu retak kenapa gue yang repot? bentar lagi juga gue bisa pulang ndiri"
"Periksa deh, lengan lu, kayaknya ada yang salah, tadi sempet gue cek..."

Menjelang malam, kami memulai ritual doa -pasrah pantang menyerah-. Tidak banyak hal bisa dilakukan oleh seorang patah kaki dan seorang lagi patah lengan di dasar jurang, kecuali menghibur diri dengan bertukar lelucon serta tetap tersenyum untuk setiap nyamuk hutan yang datang bertamu.

"Berapa lama, Dam?"
"Semoga gak lebih dari tiga minggu ya, Cis"
"Lu mau dateng kan, Dam, ke nikahan gue?"
"Pasti..."

Aku menengadah, malam itu hening mengijinkanku menikmati karnaval ribuan bintang. Aku kembali berdoa, menitip maaf pada langit, untuk Liangga.

-Mojokerto, 13 April 2010, 20.51-

Satu orang personilku mengendap pelan memasuki tenda membawakan semua barang milik Aya, bersama lembar surat keterangan yang harus ditandatangani untuk diberikan pada orangtuanya. Aku tersenyum, berusaha menyelimuti jantung yang tiba-tiba memompa darah dengan sangat tergesa.

'Kembara Langit Semesta, Putra dari Sdra. Liangga Agustian telah menerima pertolongan pertama di lokasi FunFaith Training, berupa.....'

Aku meraih Aya, matanya sedikit terbuka, tangannya mencengkeram jaketku, memintaku untuk terus menyapu keningnya, mungkin ini membantunya merasa lebih nyaman. Anak yang tampan. Aku menelusuri wajahnya, memeluk erat, lalu berbisik pelan,

"Papa mama sudah datang, Aya, cepat sembuh, ya sayang"

-Poso, 1 Maret 2001, 08.25-

"Kenapa gak ada yang nyari kita ya, Cis?"
"Gak minat, ada lu sih, gak selera jadinya..."

Ini kepulan asap kesekian kalinya. Aku dan Adam, bergantian nyaris membakar seisi jurang setelah entah berapa hari atau bulan kami menjelma menjadi tarzan. Tempat ini benar-benar tak berpenghuni. Segenap mental pun telah dikerahkan dan dibariskan untuk mengukuhkan diri sendiri menjadi anggota tetap hutan Poso. Pembaiatan akan segera dimulai, sampai baling-baling helikopter loreng hijau membuyarkan cita-cita baru kami, menyapu rerimbunan pohon, bergerak turun perlahan, menyipitkan mataku dan membuat Adam histeris girang.

Liangga tak terlihat disana. Hanya ada Papa dan Mama, mengucurkan airmata, tak membawa pesan apa-apa.
----------------------------------
Sebenarnya, cerita pendek ini telah saya tayangkan di blog pada medio April lalu, 16 April tepatnya. Lalu entah karena kebetulan, keberuntungan, atau kekhilafan, pihak redaksi Majalah Femina akhirnya berkenan memuat karya saya di Femina edisi 32 (14-20 Agustus 2010). Sedihnya, saya diharuskan menghapus segala macam bentuk publikasi cerpen ini.  Maka setelah dia selesai dimuat, saya mencoba kembali menayangkan versi aslinya dan berhubung saya sedikit bandel, publikasi lain di media ini sengaja tidak saya hapus dengan tujuan untuk menghormati apresiasi dari teman-teman. Oh ya, Femina mungkin perlu berterimakasih pada saya, oplah penjualannya pasti meningkat gara-gara Ibu saya yang mendadak heboh mengajak saudara-saudaranya untuk membeli majalah Femina edisi 32. Duh! saya malu.

Satu lagi, hampir bersamaan dengan 'Menitip Langit', karya saya lainnya, cerpen 'I Love You' kebetulan juga dimunculkan di blog Gagas Media. Tidak susah sebenarnya, kita hanya perlu mengirimkan karya kita dan apabila seluruh syarat penulisan terpenuhi, karya kita pasti akan dimuat di blog mereka. Mudah dan menyenangkan :)

Ini sebuah kebanggaan pribadi, karena memang saya belum pernah memiliki pengalaman macam begini (red : katrok) dan kebanggaan ini sempat luntur dengan sadis begitu Ibu saya berkomentar pedas : 'Cerita apa itu, Mama kok ndak ngerti blas? Mama kira kisah asmara, ndak taunya cuma begitu saja toh? kok ada nyemplung jurang segala?'

Saya pun berteriak dalam hati : 'Itu juga kisah asmara, Mamaaaaa!!!'

Ah, Ibu saya dulu terlalu banyak mengkonsumsi kisah-kisah di Majalah Kartini dan tabloid Nyata. Berbeda dengan putrinya yang kebanyakan membaca kisah coreng dan upik di majalah Bobo, atau Abu Nawas di Mentari. Kita beda jalan, Mama. Maafkan anakmu ini...

7 comments:

  1. selamat cinta... tulisannya dimuatttt.. ihirrr, makan2 nihhh :D

    ReplyDelete
  2. Mbaaaak..., ini semua karena bimbinganmu :D
    You're my great teacher.., how lucky I am to know you :)
    makan2nya nanti abis maghrib ya mbak, hehe...

    ReplyDelete
  3. selamat kepada ibu indira puteri hehehehe
    traktirannya nyampe kesini gak ya... :D

    ReplyDelete
  4. hehe, makasih Ida. Traktiran kebatinan saja, nggih..., pasti nyampe itu... :)

    ReplyDelete
  5. Wah, baru ngerti lek dimuat ng femina. Selamat.... dan teruslah berkarya

    ReplyDelete