August 03, 2010

Menjadi Bocah Kembali

Mungkin, kadar kreatifitas individu sering berbanding terbalik dengan pertambahan usia. Artinya, semakin dewasa seseorang, kemampuan untuk menstimulasi otot atau syaraf kreatifnya akan semakin berkurang.

Konon, menurut beberapa guru saya, kreatifitas kita dapat diukur melalui seberapa sering kita melontarkan pertanyaan-pertanyaan di luar konteks pembicaraan, di luar kecenderungan, di luar bunyi pertanyaan yang itu-itu saja. Out of the box, istilah populernya. Ketika saya masih belajar di kelas satu sekolah dasar, kesabaran saya diuji oleh rumitnya pelajaran menulis halus. Kalian, sebaya saya pasti pernah mengalami perjumpaan dengan pelajaran ini. Saat dimana kita diwajibkan membawa Buku Tulis Halus, buku dengan lebar baris yang tidak sama, sebaris memiliki tebal satu sentimeter dan sebaris lagi setengah sentimeter, begitu seterusnya, lalu dengan sangat berhati-hati kita masih harus menuliskan sesuatu diatasnya persis sesuai dengan perintah guru, seperti : ‘Ini Budi’, ‘Budi sedang belajar’, ‘Ayah Budi sedang membaca koran’ , ‘Ibu Budi sedang memasak nasi’, ‘Adik Budi sedang bermain layangan’ dan sederet kalimat berbau ‘Budi’ lainnya. Waktu itu, sambil susah payah menulis tebal tipisnya aksara tegak bersambung, bermacam pertanyaan hinggap di otak saya : ‘Siapa sebenarnya nama ayah, ibu, dan adik Budi?’, ‘Mengapa harus Budi?’, 'Kemanakah gerangan kakak Budi?' ‘Untuk apa saya belajar menulis seperti ini?’, ‘Mengapa tidak menulis di buku kotak-kotak saja?’.

Semua pertanyaan saya hanya hinggap dan berloncatan liar di kepala, tanpa pernah bernyali  merayu lisan angkat suara. Maklum saja, masa-masa SD saya masih berada pada kurun waktu dimana hampir seluruh guru terlihat menenteng sebatang bambu seukuran panjang lengannya sendiri. Fungsi primernya adalah sebagai pointer, alat bantu guru dalam menuntun siswa-siswinya membaca tulisan di papan. Lalu semakin siang, seiring perut siapapun yang mulai keroncongan, alat itu akan segera beralih fungsi menjadi senjata tumpul mematikan. Guru bebas mengayunkan perkakas seram itu semaunya. Bisa dipukulkan pada bangku, dikibaskan ke meja, atau jika kami sedang bernasib jelek dan kebanyakan tingkah, paha dan lengan kami juga harus siap jadi sasaran. ‘Kenapa diam semua, kalau tidak mengerti lekas tanya! Jadi murid itu yang kreatif gitu lho!’ begitulah gertakan andalan guru-guru saya jaman dulu. Saya bergumam dalam hati : ‘Gimana mau nanya, lihat tongkat sihirnya aja udah serem’. Saya sempat beranggapan, di dunia ini hanya ada dua macam guru. Pertama, guru dengan senjata bambu laras panjang, adalah mereka yang tegas, keras, dan tak kenal ampun. Kedua, guru dengan derap langkah sangat tenang yang baru setengah jam mengajar saja sudah tertidur di kursi atau ngeloyor pergi meninggalkan kami dengan berbiji-biji soal di papan. Keduanya bukan favorit saya, tapi jika harus memilih, saya akan lebih nyaman berada bersama guru tipe pertama. Bagi saya, lebih baik belajar dan menjadi kreatif dengan sedikit teraniaya daripada belajar sendiri tanpa arahan apa-apa. Jangan salah, tidak ada seorang wali murid pun yang melayangkan protes atas bermacam bentuk didikan keras guru-guru kami. Bahkan Mama justru berbalik marah ketika saya bercerita kalau telinga kanan anaknya ini dijewer guru Geografi karena tidak pernah becus membaca peta buta. ‘Makanya, belajar sana sama Masmu!. Malu-maluin mama kamu ini!’, beliau tegas berkata sambil mengiris wortel pada tatakan kayu, membawa pisau yang berkilat-kilat. Biasanya, sebagai anak bungsu yang lumayan sering menerobos aturan main keluarga, saya kerap menjawab atau mempertanyakan semua petuah beliau, tapi kali itu, saya lebih memilih segera masuk kamar daripada menjawab nasihatnya. Bagaimanapun, tangan mungil saya tidak pantas buntung oleh ibu yang sedang kesal pada anaknya. Oh, ini hanya imajinasi kecil saya. Tangan saya tidak pernah buntung. Jangankan buntung, lecet sedikit saja sudah bisa bikin beliau panik setengah mati. Jadi tenang saja, tangan saya masih lengkap.

Saya dan mungkin teman-teman sebaya lainnya selalu punya banyak sekali pertanyaan aneh justru sewaktu kami masih belum mengerti banyak hal. Saya ingat ketika Aditya, salah satu teman TK dulu bertanya saat kami bersama-sama belajar menggambar pemandangan alam : ‘Bu Guru, kenapa langitku warnanya harus biru?’. Dengan penuh senyum dan kelembutan khas guru TK, beliau pun menjawab ‘Oh, tidak harus biru, Adit, warnanya boleh apa saja, sesuka kamu’. Mendengar jawaban itu, saya terinspirasi dan seketika memenuhi gambar awan saya dengan pensil warna hijau dan rerumputan dibawahnya dengan pensil warna biru. Terlihat agak aneh memang dan tampaknya gambar saya cenderung menyalahi kodrat. Tapi itu tidak penting. Buat saya kepuasan bereksperimen adalah kebahagiaan tak ternilai.

Kreativitas masa kecil kami seringkali berlanjut pada obrolan sehari-hari. Daftar pertanyaan dan cerita di kepala seolah pantang habis. Tidak pernah ada pertanyaan yang sama, tidak pernah ada cerita yang itu-itu saja. Jika hari Senin saya menanyakan tentang mengapa bawahan seragam Dony berupa celana pendek, sedangkan saya harus memakai terusan rok yang merepotkan diri sendiri, maka esoknya saya sudah bertanya pada Rika, sahabat kental saya, mengapa rambut Ibu Ida, guru TK tingkat dua, tidak pernah terlihat lurus, selalu saja keriting. Saya pun tidak sadar, rambut sendiri juga tak pernah bisa lurus melambai-lambai seperti rambut bintang iklan shampoo Rejoice. Ketika saya masih kuliah dan tinggal di sebuah rumah kos, ada Dek Alda, anak kelas 2 SD, putra bungsu ibu kos yang menurut saya, sangat variatif dalam mengelola pertanyaan. Suatu siang dia bertanya pada mamanya yang menolak membelikan dia mainan : ‘Memang kenapa mama ndak punya uang?’. Mampus! Saya tersenyum geli sendiri di kamar, membayangkan air muka si Mama. Sorenya, ibu kos muncul di halaman belakang, menyapu lantai dengan selembar koyo Salonpas menempel di keningnya.

Kita, anak-anak kecil, selalu saja mempertanyakan dan mendiskusikan hal-hal menyenangkan dan kontroversial. Kami tertawa untuk lelucon-lelucon sederhana yang berbeda, setiap hari.

Namun sekarang, justru saat kita sudah mulai mengerti banyak warna kehidupan, saat kita sudah tidak lagi sungguh-sungguh bermain, saat kita mulai merasa dewasa, sok tua, sok berpengalaman, saya dapat menyimpulkan bahwa ternyata kita hanya punya dua hal membosankan untuk saling ditanyakan pada kawan-kawan kita : Pekerjaan dan Pernikahan. Perihal pekerjaan bolehlah,  mungkin ini masih bisa diterima relevansinya. Tapi apa urusan kita terhadap pernikahan orang lain, pun jika dia adalah sahabat kita sendiri? Mari kita perhatikan, bahkan di dunia jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter pun, pertanyaan ini bagai lagu wajib yang harus dikumandangkan setelah kita menyapa seorang kawan lama : ‘Hai Putri, apa kabar? Sudah lama ya kita ndak ketemu?. Gimana-gimana, sudah kerja dimana sekarang? Sudah nikah belom nih?’.

Saya pun diam sambil mengangkat alis tinggi-tinggi, memasukkan rekaman bunyi jangkrik malam ke otak kanan dan bunyi banteng Spanyol ke otak kiri.

Tidak benar jika setelah membaca tulisan ini, kalian menganggap bahwa saya membenci model pertanyaan seperti itu. Saya sangat menghargainya. Tapi keduanya terlanjur saya anggap sebagai basa-basi belaka dan intervensi berlebihan pada ruang privasi individu. Mereka sama sekali tak layak disuguhkan pada sebuah pertemuan nostalgia, dimana dua orang sahabat sudah lama sekali tidak bertemu. Dua pertanyaan itu bagi saya menjadikan semuanya hambar dan menjemukan. Biasanya, untuk menetralkan suasana, saya menjawabnya dengan spontanitas fiktif : ‘Aku ditugaskan di Papua sekarang, sempat kos di atas pohon aren juga sih, setahun. Minggu kemarin baru nikah sama kepala suku disana. Ini sudah beranak tiga. Kamu sendiri gimana? Sudah punya cucu?

Bagi mereka yang tidak terlalu mengenal saya secara pribadi atau mungkin lupa bahwa saya adalah individu yang cenderung susah serius, jawaban super ngawur barusan pasti akan dianggap sungguh-sungguh. Ah, biarlah, demi gayengnya perbincangan, saya rela berfiktif ria.

Ada satu lagi kawan akrab saya, tiba-tiba mengirim pesan singkat di malam hari tepat sebelum saya tidur : ‘Put, awakmu kapan rabi?’. Saya jawab dengan satu mata sudah terlelap : ‘Wulan ngarep, jeh. 30 Februari akad nikah, 31 resepsi’. Sengaja saya pelesetkan, sebab asumsi saya, dia hanya sedang bercanda. Saat masih kuliah dulu, hobi kami memang saling melempar lawakan dengan sedikit bumbu pembunuhan karakter. Maka halal kiranya kalau saya menipu dia lewat tanggal palsu pernikahan. Setelah itu, saya tidur dengan tawa bahagia. Benar-benar kebohongan sempurna.

Mengapa kita tidak bisa sedikit saja berbeda? Kalaupun nanti saya sudah menikah, pantang bagi saya membalas ucapan-ucapan selamat dari kerabat dengan kalimat antikreatif seperti: ‘Ayo, kamu kapan? Enak loh nikah!’ atau ‘Makanya buruan kawin Mbak, daripada disalip terus? Aku tunggu ya!’. Oh, ayolah, saya memang tulus ikut berbahagia atas pernikahanmu tapi pertanyaan aneh itu merusak semuanya. Di telinga saya, semuanya lebih terdengar seperti : ‘Hei, kamu sudah pipis? Enak loh pipis!’ dan ‘Ayo Mbak, kapan pipis? Yang lain sudah selesai pipis loh!’. Aneh bukan? Bagi sebagian orang, mungkin ucapan macam itu adalah doa. Tapi setahu saya, doa tidaklah berupa pertanyaan.

Saya pikir, dunia ini tidak melulu tentang pekerjaan dan pernikahan. Mereka berdua hanya subset kecil dari himpunan raksasa bernama Semesta. Tidakkah kita bosan dengan hanya membuat pertanyaan yang berthawaf di kedua kiblat itu saja? Mari kembali pada kesederhanaan masa kecil, ketika kita bertanya pada ibu, apakah boneka Susan bisa buang air besar sendiri. Saat kita memaksa ayah menjawab pertanyaan mengapa kita tidak boleh tidur malam bersama ibu, seminggu penuh. Celotehan kita meletup-letup tanpa perlu menjiplak milik orang lain. Tanya demi tanya selalu mengalir deras karena saat itu kita memang ingin bertanya, bukan sekadar berbasa-basi.

Mudah sebenarnya, kita hanya perlu sedikit kreatif, mengadopsi lagi semangat dan spontanitas anak-anak kecil untuk membuat dunia kembali berlenggok menari. Sebelum ia mati bosan oleh rotasi di orbitnya sendiri atau revolusinya terhadap matahari.

4 comments:

  1. ah,
    pertanyaan itu tooh.
    *udah biasa sama yang begituh :)

    ReplyDelete
  2. iyaaa Bintang, mungkin makhluk2 seumuran kita memang kudu tabah dengan pertanyaan2 macam itu ya ? :D

    ReplyDelete
  3. kebal..indi...walopun kadang2 masih nyaredet hate (ceuk sunda mah) klo pas mood lagi nda karuan...
    klo lagi kumat usilnya, bgitu ditanya kapan kawin, jawab aja ntar abis gajian, ato ntar klo nggak ujan...hehehehe

    ReplyDelete
  4. hihi. iya mbak Nunu, seru tuh jawabannya. Ato bisa juga : 'Ntar, abis bulan purnama' *berasa manusia jadi2an*

    Yes, kita senasib, haha!

    ReplyDelete