September 24, 2010

Orizuru


Aku bersembunyi diantara ratusan manusia bertoga.

Sabtu pagi, gedung megah berornamen kayu ukiran tradisional di setiap sudut atapnya ini tengah menjelma menjadi lautan manusia berbusana hitam dengan tatapan penuh binar ceria. Sungguh tidak ada sebijipun kesedihan tercecer di lantainya. Para wanita terus tersenyum mengembangkan bibir mereka yang terlapisi gincu warna-warni, menengok ke kanan dan kekiri, bercanda kecil kesana kemari sambil sesekali membenarkan posisi sanggul yang bagiku lebih mirip seperti adonan roti jumbo coklat isi pisang sedang bergelayut di kepala, atau berulang kali merapikan kain kerudung mereka yang sering meleset hanya karena terlalu lepas tertawa. Para pria pun sibuk mengeringkan keringat di dahi masing-masing, melonggarkan simpul dasi, membuka kancing jubah, dan tidak pernah lupa memajang air muka polos ketika matanya sedang berkeliaran menggerayangi sekujur gedung demi mencari makhluk yang menurut mereka paling ayu lalu buru-buru berbisik girang pada teman disampingnya ketika makhluk paling ayu itu ditemukan. Sekalipun mereka tak pernah mengenalnya. Ah, dasar lelaki!

Aku sedang menatap deretan sisi kiri tribun undangan ketika cahaya gedung meredup perlahan bersama hymne institusi yang dilantunkan penuh khidmat, sekaligus sebagai penanda dimulainya prosesi penasbihan. Setiap pasang mata seolah dikomando untuk tertuju pada kedatangan barisan bersahaja para guru besar, sedangkan aku lebih memilih untuk menangkap kelebat samar-samar bayangan Bapak dan Ibu yang sedang duduk bersama ratusan orang tua lainnya. Mereka ada disana dengan wajah tercerahnya. Ibu tak pernah bisa duduk tenang, mungkin karena terlalu ribut memperhatikan setiap jengkal megahnya arsitektur gedung dan menamatkan satu demi satu acara yang mungkin bagi ibu masih terlihat asing dan begitu mengagumkan, walaupun sebenarnya terhitung sudah dua kali beliau menyaksikan kegiatan protokoler semacam ini, memenuhi undanganku, dan kakakku, beberapa tahun lalu. Bapak tak kalah antusias, beliau mengeksploitasi kamera digitalnya tanpa ampun, entah objek apa yang berusaha diabadikan, yang jelas hanya ada satu kilat lampu yang setiap sepuluh detik berkedip di tribun kiri atas. Aku berani menjamin, itu ulah Bapak.

Mereka tampak luar biasa bahagia, seperti induk ayam yang berkotek sepanjang hari karena telur-telur eramannya telah berhasil menetas dengan selamat dan sempurna.

"Bapak hanya ingin kamu lulus, lalu mandiri dulu seperti mereka-mereka yang lain," dihisapnya dalam-dalam sebatang rokok kretek yang terjepit di tangan kirinya, diantara telunjuk dan jari tengah setelah serta merta memotong kalimat permohonan yang aku sampaikan pada beliau.

"Bapak, ini bukan bentuk inkonsistensi. Menikah, bukan berarti memupus cita-cita, tidak lalu harus memenjara jiwa. Semua sudah kami diskusikan, Pak. Jadi mari sama-sama percaya bahwa kekhawatiran Bapak tidak akan terjadi," aku berusaha setenang mungkin, menghirup oksigen sebanyak mungkin, meminimalkan emosi yang sebenarnya sudah beranak-pinak sejak bapak selalu saja punya alasan cadangan setiap kali alasan penolakan beliau sebelumnya berhasil dimentahkan. Aku tahu persis, bapak tidak benar-benar memiliki alasan logis untuk menyertai penolakannya. Namun ternyata beliau masih saja memerankan lakon sebagai seorang baginda raja yang instruktif dan absolut. Bahkan ketika putrinya sudah berusia seperempat abad dan sedang meminta sebuah pernikahan.


"Jangan macam-macam! siapa yang pengaruhi kamu? pokoknya harus lulus dulu. Kamu tahu, tidak ada instansi yang mau menerima wanita yang sudah menikah! Mau kamu anggap apa Bapak dan Ibu yang sudah susah payah merawatmu sejak kecil, hah? Senang kamu kalau Ibumu sakit-sakitan hanya gara-gara memikirkan kemauan konyolmu itu? Kamu itu wanita, Nak, mana harga dirimu?!"

Muka bapak memerah, rokoknya dilempar ke meja, sekenanya. Suaranya meninggi, kedua matanya membelalak ke arahku dan aku tahu sejak saat itu habislah sudah ruang dan kesempatan untuk berdiskusi secara jernih dengan bapak. Aku melirik ibu, beliau melirikku dan matanya seolah bicara : Sudahlah, benar kan kata ibu?

Prosesi terus berjalan dan entah mengapa gedung ini tiba-tiba beraroma kayu manis segar, justru ketika acara sedang tiba di bagian paling membosankan. Aku menghirup aroma lembutnya dalam-dalam dan menghelanya perlahan, sama persis seperti helaan nafasku ketika bapak tanpa sadar mencibirku, merendahkan putrinya sendiri dengan mengatakan aku tak lagi berharga diri dan telah kehilangan identitas, bahwa aku dianggap telah dipengaruhi, bahwa aku tak akan pernah hidup sukses dan bahagia dengan konsep berpikir yang kusampaikan saat itu. Bapak mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa wanita mandiri pasti akan mendapatkan apapun yang diinginkan. Semuanya, menurut beliau akan berlangsung mudah dan bebas derita. Sejak saat itu aku sadar, konsep kesuksesan dan kemandirian versiku sangat berbeda dengan konsep milik bapak.

Ah sudahlah, aku harus membubarkan lamunanku sendiri saat Ibu tiba-tiba melambaikan tangannya ke arahku. Aku membalasnya dengan sebuah lambaian kecil. Ya, paling tidak aku masih punya alasan untuk bahagia dengan berusaha membahagiakan mereka. Benar-benar konsep pengabdian klasik.

Mereka berhiruk-pikuk seorang diri, tanpa pernah ingin bertanya bagaimana konstruksi mimpiku sebenarnya.

Mimpi, bahkan aku tak lagi berani menanyakan pada hatiku sendiri, bagaimana kabar mimpi-mimpiku dulu. Aku kehilangan cetak biru mimpiku sendiri, kehilangan denah, kehilangan kawan yang sempat bersama-sama mengarsiteki penggabungan kedua mimpi kami. Aku bahkan harus pura-pura lupa dan buta untuk kemudian menggambar ulang mimpi itu berdasarkan imajinasi Bapak dan prinsip balas budi yang selalu terdengar sangat mulia. Aku tersenyum pahit, membuka genggaman tangan kiriku dan kembali melihat lipatan kertas merah kecil lusuh disana. Namanya, masih tertulis jelas. Arga, dimana dia sekarang?

"Tidak ada yang salah dari pendapat Bapak, Nis," akhirnya Arga bicara setelah lima belas menit kami diam dan hanya memandangi kaki masing-masing.

"Ya, dan tidak ada yang salah juga dengan pendapat kita, beliau sebenarnya tidak benar-benar punya alasan kan?" aku menoleh, mencari persetujuan ke wajahnya, matanya terpejam. Aku kembali menunduk.

"Kita mungkin hanya belum pernah merasa, bagaimana rasanya jadi orang tua. Kamu itu wanita luar biasa, Nisa. Penuhilah ekspektasi Bapak, buat beliau bangga. Kelak, kamu pasti akan dapatkan apa yang kamu inginkan," ia tersenyum, mungkin untuk menyamarkan suaranya yang mulai bergetar. Arga terus menunduk sambil memainkan orizuru hijau yang aku berikan padanya, disayapnya tertulis namaku.

Kami akhirnya menuntaskan pertemuan itu tiga puluh menit kemudian. Penuntasan yang kami penuhi dengan canda tawa dan mata yang membasah. Penuntasan setelah lima kali dalam kurun waktu enam bulan Arga menghadap bapak untuk meyakinkan bahwa dia sungguh-sungguh ingin melamarku, putrinya. Penuntasan setelah bapak tetap bersikukuh bersandar pada keputusan awalnya, mengatasnamakan kemandirian dan kebahagiaan sepihak.

"Simpan ya Ga, kalau nanti kamu berjodoh dengan orang lain, boleh kamu buang kertas jelek itu," ia mengangguk pelan. Aku memperlihatkan senyuman terbaikku sambil menunjukkan padanya benda berwarna merah dengan bentuk serupa. Aku ingin dia tahu bahwa aku juga menyimpannya, entah sampai kapan.

Saat itu, kami berkeras mengingkari sedih yang mengepung dari segala penjuru arah, mengelak airmata yang jelas menetes malu-malu dari mataku dan matanya. Arga berpamitan, aku tetap berdiri di depan pagar hingga punggungnya hilang di tikungan ujung jalan, hingga suara unik motornya tak mampu lagi tertangkap telingaku. Kami seolah baru saja merayakan perpisahan tanpa alasan. Belakangan, aku sadar bahwa perpisahan seperti itu adalah kehilangan paling rumpang, kesedihan paling sepi, dan kesepian paling sedih yang hingga kini masih betah mendiamiku tanpa pernah mampu tertawar.

Hush! Aku melamun lagi, dan kali ini tubuh dan jiwaku diselaraskan oleh Cory, teman duduk yang sepertinya sejak awal sudah sibuk memuja-muji ketampanan para anggota tim paduan suara yang berkelompok di sudut kanan depan. Ia menepuk pundakku dua kali.

"Eh, namamu sudah dipanggil, mau nerima ijazah nggak? Buruan maju gih,"

Aku melangkah cepat dan sekali lagi menoleh ke arah ibu dan bapak. Namaku disebut beserta dua macam gelar yang berhak aku sandang. Indeks Prestasi Kumulatif yang pada jaman sarjana dulu selalu tabu untuk dipublikasikan, kini dengan tegas dibaiat sebagai pencapaian sepuluh besar terbaik se-Institusi. Judul tesis yang pada halaman persembahan turut kucantumkan namanya : Alif Arga Kawuryan, setelah nama orang tuaku sendiri juga dibacakan sebagai salah satu karya ilmiah yang berhasil didaftarkan pada Jurnal Sains Internasional. Aku menjabat tangan Rektor, mengucap terimakasih beberapa kali dan berucap dalam hati untuk Bapak.

Putrimu berhasil, Pak. Mimpi Bapak sudah terwujud kan? Lalu apa lagi setelah ini?

Aku segera kembali ke barisan tempat duduk asalku tadi dan tertawa lebar ketika Cory mengacungkan dua ibu jarinya lalu rela berdiri untuk memperagakan gerakan membungkukkan punggung, berpura menyembah kawannya sendiri. Aku memeluknya cukup lama, berterimakasih atas dua tahun bersamaku yang lebih dipenuhi curahan hati daripada mendiskusikan materi kuliah. Dia pandai mendengarkan, terasa pas denganku yang pandai bercerita. Tidak penting apakah kami sependapat atau tidak, karenya kenyataannya, kami banyak bertentangan dalam banyak hal.

"Nisa, itu artinya dia nggak begitu sayang sama kamu. Harusnya dia mau nunggu tuh, selama apa sih dua tahun? udahlah, lupain aja dia," Ini adalah contoh bentuk sinisme Cory terhadap karakter dan prinsip Arga. Dia juga merupakan satu dari sekian banyak orang yang belum atau tidak paham bahwa aku sudah lama meletakkan pusara kematian pada makhluk bernama 'Pacaran', bahkan jauh sebelum aku mengenal Arga. Bibirnya bawahnya selalu dimajukan beberapa sentimeter setiap kali aku mengatakan bahwa bagiku -yang sudah sekian lama malang melintang di jagat persilatan negeri Pacaran-, makhluk ini tidak akan pernah menjanjikan apapun, tidak pernah nyata, penuh topeng kepura-puraan dan selalu berada di area abu-abu, tanpa konteks relasi yang jelas. Cory bahkan kerap mencandaiku, sebaiknya aku hidup di Mesir saja, mulai mengenakan baju kurung longgar, dan cadar. Aku membalas sekenanya, bahwa dia akan menemukanku mati kehabisan nafas jika aku menuruti sarannya.

Cory tidak pernah mengerti, aku dan Arga ingin menikah, bukan berbangga diri dengan status pacaran. Bukankah ini tidak ada hubungannya dengan Mesir atau wanita bercadar?

Menjelang tengah hari, prosesi penasbihan berakhir. Gedung yang tadinya bernuansa sakral dan penuh wibawa, kini seketika berubah menjadi studio foto temporer. Bapak menghujani pipiku dengan ciuman dan mengambil beberapa momen untuk diabadikan, Ibu memelukku sambil menangis sesenggukan, mereka tidak berhenti meluncurkan kalimat dengan kandungan kata 'Bangga', 'Bahagia', dan semacamnya. Aku berusaha menyatu dengan euforia yang sejak tadi pagi mereka ciptakan sendiri, menenggelamkan diri pada gelak tawa, hanya supaya sedih tidak lagi melukiskan Arga dimana-mana. Aku berharap hatiku kehabisan nafas, lalu sibuk mencari lubang udara, hingga akhirnya lupa menyisihkan tempat untuk Arga. Tapi hari ini aku diberitahu, nampaknya semesta tidak merestuiku untuk membunuh hati sendiri.

"Nisa...,"

Aku menatap wajah bapak dan ibu bergantian dengan tubuh gugup, memastikan bahwa suara ini benar-benar nyata. Ibu terperangah, sedangkan bapak mengusap pipiku dan berkata bahwa mereka akan menungguku di mobil dan aku pun mendapat jawaban. Mereka bertiga saling berjabat tangan. Bapak, Ibu, dan... Arga. Dia sungguh sedang disini, tepat dibelakangku, berkemeja putih, kurus, dan masih dilengkapi rambutnya yang selalu acak-acakan. Dia, masih Arga yang dulu, yang matanya tidak pernah mampu kuadu dengan mataku.

Kami duduk berdampingan, berjarak dua kursi lipat biru. Dia membolak-balik telapak tangannya sendiri. Aku, kerepotan menggembala hati yang sudah ingin meloncat keluar, lepas dari kandangnya.

"Ada tugas ke Bandung, Ga?" aku kembali bertanya datar sambil memandangi para kru peralatan berat bekerja membereskan segala sesuatunya. Pertanyaan kesekian yang keluar begitu saja. Gedung sudah mulai sepi, hanya tinggal kami yang entah mengapa sibuk berbasa-basi sejak tadi dan mereka yang sibuk membongkar dekorasi panggung.

Arga menggeleng lalu mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. Didekatkan tangan kanannya padaku dan detik ini aku tidak lagi hanya repot menggembala hati, tapi juga harus menahan luberan air mata yang hendak membanjir.

“Boleh aku bertemu Bapak lagi?” Arga meletakkan orizuru hijau di kursi sebelahku. Dia kembali diam, mengakrabi jemarinya sendiri.

Dua tahun menimbun semua tentang Arga membuatku sedikit susah bereaksi wajar atas pertanyaannya tadi. Aku terus bicara tanpa menjawabnya. Otakku seakan-akan terus bekerja memutar cerita dari Sabang sampai Merauke, dari kutub utara hingga kutub selatan. Sesekali aku menertawakan ceritaku sendiri meskipun aku tidak tahu dan tidak berani tahu apakah Arga juga ikut tertawa, bersamaku.

“Nisa, boleh tidak aku bertemu Bapak? Mencoba meyakinkan beliau lagi?” akhirnya dia memotong cerita tak berujungku.

Aku diam dan meyakinkan diri sekali lagi bahwa ini bukan mimpi. Keras aku mencoba mengingat apakah setelah acara penasbihan tadi, aku sedang istirahat siang dan terdampar di sketsa bunga tidur yang didalamnya ada aku, Arga, dan para pekerja itu.

Ah, tidak. Kalaupun ini hanya mimpi maka bukankah aku berhak membuat ceritanya berakhir indah?

Genggaman tangan kiriku kembali terbuka. Aku menyandingkan orizuru hijau dengan orizuru merah, milikku. Sayap-sayap mereka, saling bersentuhan. Aku menatap Arga, dia menatap dua benda mungil hijau-merah itu dan mengangguk tersenyum. Aku percaya dia cukup cerdas untuk menarik kesimpulan dari isyarat gugupku.

“Semoga Bapak tidak keburu menyarankanmu untuk menempuh program Ph.D, ya?” Ada nada memohon di kalimat tanyanya.

“Mmm..., sepertinya akan lebih menarik menemani calon Ph.D mengerjakan disertasinya. Entah di negri sebelah mana, nanti” aku memalingkan muka demi menyembunyikan wajah yang mulai hangat dan terasa memerah. Semoga Arga sedang tidak melihatnya.

“Iya tuh, orangnya sudah sangat siap ditemani. Nah, jadi tolong kamu jangan kemana-mana lagi ya, anak nakal?” Arga terlihat gemas, mungkin gemas yang sudah berumur dua tahun. Gemas yang begitu menua, entah apa namanya.

Sabtu siang, dalam hati, aku berlari ke ruang bawah tanah yang sengaja kubangun untuk menyimpan harta kami berdua. Aku menyalakan lampu, mengucapkan selamat datang pada angan-angan yang semakin terang.

Aku tidak tahu, bagaimana harus berterimakasih pada Tuhan.

Kami meninggalkan gedung bersama cetak biru mimpi yang perlahan kembali nyata. Kami menghidupkan kembali mesin-mesin pengaduk semen yang sudah lama digudangkan, tertutupi sarang laba-laba di semua sisinya. Seluruh armada bangunan sudah disiapkan untuk kembali mengkonstruksi mimpi menjadi cita-cita. Kawanku sudah kembali, membawa desain mimpinya, membawa pensil-pensil yang sudah ditajamkan untuk melukiskan kami, di dalamnya.

“Ga, maaf untuk dua tahun ini,” lisanku berusaha keras menyelesaikan kalimatku sendiri hingga setetes airmata akhirnya harus jatuh, menjelajahi wajahku yang masih diselimuti partikel tepung muka coklat muda.

“Nisa, mungkin kita memang hanya butuh waktu, untuk benar-benar sadar bahwa aku, kamu, belum pantas menyerah...”

No comments:

Post a Comment