October 22, 2010

Anti Biimplikasi

Aku berdiri di bibir balkon lantai tiga, sepuluh sentimeter di belakang pagar besi silinder horisontal warna biru tua, setinggi lutut sendiri. Rambut ikal seleher yang melekat lebat di kepala bundarku menari digoda angin senja. Tengkuk persegiku terbelai samar oleh benda-benda jemuran yang sedang berada di persimpangan bau, antara bau larutan pewangi dan bau bacin menyebalkan. Disana, entah berapa kilometer diatasku, kawanan awan putih berkumpul hendak mengubah warna, ditemani deru burung besi yang terbang landai, pertanda akan segera menyentuh landasan. Mataku melirik sudut barat, sebentar lagi matahari hendak pulang. Langit, seperti biasa melakukan ritual persiapan, perpisahan dengan siang dan penyambutan hadirnya petang.

Lima sentimeter, kakiku bergeser ke depan. Sepuluh hitungan mundur pun dimulai. Aku menjejalkan semua oksigen ke paru-paru pada hitungan pertama, menahannya baik-baik, supaya kelak tubuhku mengenangnya sebagai oksigen terakhir yang dapat terhisap sempurna. Aku membawa badan yang hanya mengenakan kaos dalam putih tak berlengan dan celana pendek abu-abu yang labelnya sudah pudar terus condong ke depan, bersahabat dengan gravitasi bumi. Mataku terpejam. Empat...tiga...dua...sa...

Mas Aji! Sedang apa? Baru selesai jemur cucian ya?”

Bu Siti, tetangga sebelah rumah dengan muka polos, jepit rambut bertebaran dimana-mana, dan logat jawa timur tulennya, baru saja membuat oksigen terakhirku harus bereaksi menjadi ribuan partikel karbon dioksida. Aku tersedak detak jantung sendiri.

“Iya Bu, lagi cari angin segar. Bosan di kamar terus” aku melunasi tanyanya sekejap setelah batukku usai.

“Hati-hati Mas, jangan mepet-mepet pagar. Nanti jatuh. Eh, ba’da isya’ Mas Aji ke rumah ya, internet putra saya ngadat lagi. Jangan lupa lho!” Bu Siti menegaskan kalimat terakhir sambil melambaikan tangan ke arahku. Ia kemudian berlalu bersama bunyi langkah cepat, menyeret tanah.

Saya memang ingin jatuh, Bu.

Senja mulai kadaluarsa. Kini aku duduk bersandar di tembok kamar, berkawan segelas penuh cairan pembasmi serangga. Otakku masih merekam dengan baik, masa kuliah dulu, saat aku masih sibuk melibatkan diri pada geliat organisasi kampus, para senior selalu mengajarkan kami untuk tak pernah lupa menyiapkan rencana cadangan setiap kali rencana awal gagal terlaksana. Semakin banyak rencana cadangan yang dikantongi, semakin sempurnalah konsep kegiatan kita. Nah, cairan pembasmi serangga ini adalah rencana cadanganku setelah acara di balkon tadi gagal total oleh Bu Siti. Lihatlah, aku bahkan telah menyiapkan proses ini dengan sangat matang, bukan?

Mengapa? Sederhana saja, karena aku telah kehilangan originalitas mimpi.

Bagiku, tidak ada yang lebih menyedihkan selain menjadi individu yang hasrat pribadinya tak mampu lagi dipahami oleh orang-orang di sekitar kita. Aku percaya bahwa mimpi, cita-cita, atau jalan hidup manusia itu bersifat unik, tidak akan pernah sama satu sama lain. Karenanya, terasa tak bijak apabila ada pihak yang mencoba memaksakan idealisme mimpi dan cita-cita mereka pada orang lain, atau membandingkan pilihan jalan hidup kita dengan milik orang lain lalu menarik kesimpulan secara objektif dan semena-mena. Bagiku, tidak ada satu pun mimpi manusia di dunia ini yang bernilai salah atau bernilai lebih benar dari lainnya. Kesanggupan realisasi dan nilai kebenaran sebuah mimpi berlaku relatif terhadap pelaku, penggagasnya sendiri. Bukankah kita hanya butuh kepercayaan dan rapalan doa dari mereka yang mengaku menyayangi kita?

Tidak ada yang lebih mengutuhkan kita sebagai manusia selain terus belajar mencari jalan memapankan mimpi dan cita-cita lalu mendedikasikannya untuk orang-orang di sekitar kita.

Aku hidup untuk menaklukkan mimpi. Maka apa fungsi jiwa yang bernyawa kalau pundi-pundi mimpiku tak dapat tersentuh lagi?

Ah sudahlah. Ini bukan waktunya menggerutui mereka.

Sekian detik aku lewatkan hanya dengan memandangi lekat-lekat gelas di hadapanku sembari melafalkan kembali dalam hati ratusan kalimat pembenaran atas tindakanku. Mulutku kini hanya sejengkal saja dari gelas berisi zat pemusnah serangga yang akan membantuku menyudahi semuanya. Aku tersenyum tegar, senyum yang juga diperlihatkan oleh Takuya Kimura ketika ia memerankan Manpyo Teppei dalam film serial Jepang favoritku, Karei-naru Ichizoku. Bedanya, ia tampak sedikit lebih bergengsi dengan menggunakan senapan buru berpeluru tunggal milik kakeknya untuk harakiri di bawah pohon besar, di puncak gunung Sasayama, yang memutih karena salju akhir tahun. Aku tak punya senapan, maka cukuplah segelas racun serangga menggantikan perkakas itu.

Bibirku menyentuh bibir gelas dan telepon genggam di atas kasur berdering meneriakkan lagu Doraemon. Pasti panggilan dari orang rumah.

“Halo” jawabku pelan.

Om Ajiii, kapan pulaaang? Bimo kangen nih. Sabtu besok ya Om?” suara anak kecil, putra pertama abangku. Seperti biasa menjerit-jerit riang, memintaku segera pulang dan membawakan sekotak burger daging kesukaannya atau sekedar menantangku beradu strategi dalam permainan perang di video game.

“Iya, Bimo. Om Aji masih ribet disini. Nggak bisa janji ya, anak manis” aku menjawab sekenanya, berharap anak ini tidak memperpanjang waktu dengan menagihku berdongeng via telepon tentang kelanjutan cerita hubungan kekerabatan antara Ken Arok dan Wonder Woman. Imajinasiku kadang memang sedikit keluar jalur.

Yah, Om Aji jahat! Pokoknya Sabtu besok, Bimo tunggu.” Dia mengancam, lalu menutup telepon. Seorang Bimo, seperti Bu Siti, kembali menunda rencanaku.

Aku mengulangi adegan tadi dengan lebih sempurna. Semua akses masuk ditiadakan. Telepon genggam segera kubuat diam, tirai dirapatkan, dan pintu kamar kupastikan terkunci dengan benar. Aku kembali tersenyum bersahaja menghadapi ramuan dalam gelas kaca. Jengkal terakhir aku jadikan serangkaian ucapan selamat tinggal untuk bapak, ibu, abang, adik-adikku di rumah, dan Gaza, wanita dengan kualitas luar biasa yang sempat menjadi bagian dari cita-citaku.

“Ji, buka Ji...” pintu kamarku diketuk dengan brutal. Sepertinya aku mengenali suara parau orang yang sedang berdiri di balik pintu itu, di depan kamarku.

Sial.

Ah, ini sama sekali tidak lucu. Tiga kali sudah aku gagal menuntaskan acara pribadiku. Kali ini Omar, rekan sekantorku tiba-tiba datang dengan baju berantakan dan mulut beraroma wine kelas atas. Tubuhnya seperti sedang tak bertulang, mulutnya berulang kali meracaukan kalimat-kalimat putus asa yang tak kupahami benar maksudnya. Omar memang sedikit labil. Sebulan lalu ia sampai harus terbaring lemas di rumah sakit karena diare akut, tiga hari tiga malam saat seharian penuh si istri mendiamkannya hanya karena sebiji mutiara hitam yang belum mampu terbeli. Kondisi kejiwaan Omar yang naik turun pasca pernikahan kadang memancing banyak pertanyaan dari teman-teman kami tentang bagaimana sebenarnya dulu dia memilih istrinya. Tragedi berseri pada rumah tangganya adalah salah satu penyumbang keraguan terbesar kami, para lelaki untuk segera menikah. Kalau saja semua kaum Adam bernasib sama seperti Omar, habislah sudah dunia.

Belakangan, dari racauannya yang dengan susah payah kudengarkan, aku tahu bahwa si istri sedang berulah lagi. Ia berkeras minta diceraikan dan saat ini mereka tak lagi tinggal serumah. Istrinya entah kemana, mungkin sibuk berburu mutiara hitam.

“Saya bunuh diri saja ya, Ji.” Ia berseloroh lemas sambil meringkuk di salah satu sudut kamarku, berseberangan dengan tempatku duduk bersila.

Aku menatapnya, lama. Orang ini, tampaknya hanya butuh teman bicara untuk sekedar bercerita dan berkelakar bahwa ia ingin menghabisi hidupnya sendiri. Iseng, aku mendekatkan barang-barang yang tadinya akan kujadikan alat eksekusi bagi nyawaku. Segelas obat serangga, seutas tali pramuka, dan pisau komando dua mata.

Nih, kamu tinggal pilih sarananya dan jangan pernah minta persetujuan saya mengenai keinginan bunuh dirimu. Mati ya mati saja, Mar. Susah amat? Kalau kamu percaya bahwa dengan mati semuanya akan terasa lebih baik, lakukanlah dengan gagah. Tak perlu melapor ke siapapun, kan?”

Omar mendongak cepat, mata merahnya menangkap wajahku yang sedang mengangkat satu alis, menantang nyalinya untuk menepati kata-katanya sendiri. Omar tak pernah tahu, tenggorokanku sedang tercekat, mendengar kata-kata yang meluncur bebas dari mulutku beberapa saat lalu.

Mati ya mati saja, Ji. Susah amat? Ah, kata-kata siapa itu tadi?

“Sadis kamu, Ji. Bukannya menghibur, malah ditawarin pisau nyeremin model begini.” Omar tiba-tiba bertransformasi menjadi remaja labil berusia tujuh belas tahun yang baru saja putus cinta.

“Mar... Mar..., dasar cupu! Udah, tidur aja gih. Kalau besok kamu bangun dan masih ingin bunuh diri, bilang saja. Nanti saya pinjamkan lagi barang-barang ini.” Aku tertawa lebar, entah menertawai apa dan siapa. Rasanya, aku hanya sedang berbicara pada diri sendiri.

Omar menyerah tanpa syarat di tanganku. Ia lebih memilih tidur bergelung selimut daripada mati. Hanya butuh lima menit untuk mendengar dengkurnya yang bernada fals minor, pantas saja istrinya kabur. Aku berdiri meluruskan kaki, meraih jaket coklat tua pemberian Gaza, lalu berjingkat pelan meninggalkan kamar, menutup pintu perlahan. Ada yang harus kukerjakan di rumah Bu Siti. Sebatang rokok kretek yang sudah menyala kuselipkan di mulut yang seakan-akan masih beraroma obat serangga. Aku melangkah santai menuruni tangga kayu, menghirup nafas sedalam mungkin, menikmati aroma asap rokok dan udara malam yang bercampur  mesra. Wow, ini sungguh sempurna dan ya, berada di sekitar orang-orang seperti Bu Siti, Bimo, dan Omar kadang mampu membangkitkan perasaan ‘merasa dibutuhkan’ dan ‘diandalkan’. Suatu faktor lain dari eksistensi pribadi, selain originalitas mimpi. Mereka bertiga sukses membatalkan niatku, setidaknya untuk hari ini. Toh, ternyata aku tak memiliki nyali sebesar si Teppei untuk sedemikian ikhlas bunuh diri. Mati itu mudah, mematikan diri sendiri itu, susahnya minta ampun.

Aku memang hidup untuk menaklukkan mimpi. Tapi sayang, kaidah ini tidak akan pernah berlaku sebaliknya. Hei, sudah ya, selamat tinggal mati. Aku pamit dulu ke rumah Bu Siti.

Dasar bodoh. Aku mengumpat hatiku sendiri

3 comments:

  1. Hahhaahahhaahhahaah....
    Hahahahahahahhahahahah......

    Bagus banget mbak ! B A N G E T ! ! ! ! :D

    ReplyDelete
  2. sangat suka,

    salam kenal. :)

    ReplyDelete
  3. Erli, nuwun adek..., selamat menikmati :)
    Yath, terimakasih ya, senang berkenalan denganmu :)

    ReplyDelete