October 12, 2010

Bunda Pulang

"Horeeee, maemnya Mas Dimas sudah habiiis...!"

Kami duduk berhadapan di ruang tengah, di atas hamparan karpet putih dari bulu domba, bersebelahan dengan televisi datar selebar tiga kali rentang tanganku, di bawahnya tertulis label 'Panasonic',  yang kemarin baru saja berhasil kubaca dengan benar. Aku bertepuk tangan riang mengikuti gerakan tangan yang dicontohkan Mbak Sum. Suara antusiasnya selalu saja berhasil memancing adrenalinku. Dia selalu bersorak -sorai untuk menandakan sesi makan sudah berakhir, hingga deretan gigi depannya yang besar bagaikan bji delima kelebihan hormon pertumbuhan terlihat jelas. Urat nadi lehernya demikian terlukis tajam, berwarna ungu muda, seperti selang air mini. Detik ini, setidaknya ada lima butir keringat di wajah Mbak Sum, empat butir tersebar di kening lebarnya dan satu butir lagi di pipi sebelah kiri. Hidung mengkilat perempuan ini kembang kempis kira-kira setiap dua detik sekali. Aku bisa melihat jejak keringat berbentuk cakram tak sempurna di bagian ketiak baju merah mudanya saat ia mengangkat tangan tinggi-tinggi, sekelebat lalu tercium aroma bedak tabur dan minyak telon yang biasa dibalurkan ke sekujur badanku setiap aku selesai mandi, bercampur dengan aroma lain yang agak susah dijelaskan. Ah, bau itu, bahkan kini aku mulai piawai mendeteksinya dari kejauhan, saat ia masih berkutat di dapur atau menjemur pakaian dalamku di beranda lantai dua.

Aroma Mbak Sum tak terdefinisi, tapi setidaknya selama ini aku mampu ditenangkan oleh eksistensi aroma miliknya.



Entah, di rumah ini, bagiku, ia merupakan satu-satunya sosok orang dewasa yang tak pernah berubah. Aku tidak perlu menghafal sosok Mbak Sum setiap hari. Ia bukan pribadi dengan rumus yang susah dicerna, dan sepertinya memang hanya Mbak Sum yang sanggup bertahan hidup denganku. Hidup yang buatku penuh main-main, warna, spontanitas, dan gelak tawa. Lagipula aku tidak tahu, mengapa beberapa bulan belakangan, semua manusia dewasa di tempat ini mendadak menjelma menjadi makhluk sulit yang kemarin gembira, sekarang berduka, dan esok penuh angkara. Bunda, adalah contoh manusia sulit yang aku maksudkan. Sedangkan Ayah adalah contoh manusia sulit kedua. Mereka berdua seolah telah memiliki taman bermain masing-masing dan tak pernah ada aku, di dalamnya.

Tidak ada lagi acara bergelantungan di punggung lebar ayah begitu ia turun dari mobil sepulang kantor, tidak pernah ada lagi suatu pagi dimana bunda mencandaiku di kamar mandi, menghamburkan gelembung sabun hingga rambut hitam panjangnya seperti baru dihujani salju gunung Fujiyama. Tidak ada lagi sore yang menampilkan ayah sedang berbaring santai, dengan bunda dibahu kanannya dan aku di bahu kirinya, bersama-sama menonton serial kartun fovoritku, Dora the Explorer.

"Mas, ayo dibasuh dulu tangannya, setelah itu baru kita bermain lagi," suara cempreng Mbak Sum menyelamatkanku dari pencarian jawab untuk pertanyaan-pertanyaan yang tak hingga banyaknya tentang bunda, ayah, dan kami bertiga.

Namun terlambat, saat ini aku sedang berada tepat di depan kamar tidur Bunda. Pintunya sedang terbuka, sedikit. Aku selipkan pandangku ke celah pintu merah muda yang dulu sering kami jadikan alat untuk saling bermain petak umpet. Ayah kerap menaruhku di kolong tempat tidur ketika Bunda sedang menutup mata dan menempelkan separuh tubuhnya di pintu itu. Aku masih merekam jelas, teriakan-teriakan histeris kami saat akhirnya Bunda berhasil menangkapku di kolong persembunyian penuh debu.

Ingatanku juga masih menyimpan rapi, perihal ayah yang gemar menghujani kening dan pipi bunda dengan kecupan, setelah kami bertiga kelelahan dengan permainan konyol yang kami ciptakan sendiri.

Kedua mataku menangkap bunda yang duduk terpekur di sudut kamar Entah ada berapa lembar tisu yang bergeletakan di sekitarnya. Wajah bunda tertumpu pada kedua lutut yang dia lipat erat-erat, hingga tubuhnya nampak semakin mengecil. Pundaknya bergerak naik turun, dan dari sini aku bisa mendengarkan sayup sesenggukan nafas bunda yang berkejaran dengan suara isaknya. Ah, bunda sedang menangis rupanya.

Aku bergerak pelan, memberanikan diri mendekati bunda yang sudah lama tak lagi menjadi bunda untukku. Hatiku melakukan tebakan acak ala orang dewasa. Ya, mungkin bunda sedih karena tak lagi dapat bermain bersama aku dan ayah, atau karena kantor tempat ayah bekerja selalu saja membuatnya pulang larut malam sehingga tidak lagi ada kecupan untuk bunda, di kening dan pipinya. Yes, tiba-tiba aku punya ide jenius untuk mengakhiri sunyi di rumah kami, untuk membiarkan Mbak Sum istirahat sejenak dari kesibukannya menemaniku.

"Bunda, Dimas mau main petak umpet. Bunda ikut, yuk? Mau ya?" aku meraih tangannya ketika dia akhirnya menengadahkan wajah ke arahku. Ini kesempatan bagus, batinku. Aku menjatuhkan diri ke tubuh bunda, memperagakan pelukan manja yang sering bunda ajarkan padaku, lalu melayangkan satu, dua, tiga, empat, lima kecupan ke wajahnya, persis seperti cara ayah, dulu. Aku terhenti pada kecupan ke enam, setelah bunda menjauhkan tubuhku dari tubuhnya yang berantakan.

Ia tak sedetikpun memandangku.

"Mbak Sum, bawa Dimas tidur siang! Kamu kemana aja sih?" Bunda mengeraskan suaranya, menghardik Mbak Sum yang bahkan menurutku tak membuat kesalahan sebiji apel pun.

Aku masih memandangi bunda, baju tidur lusuhnya, dan tisu yang berserakan dimana-mana saat Mbak Sum bergegas mengangkat dan menggiringku ke luar kamar. Bunda tak bergeming. Sepertinya, ideku tadi belum terlalu jenius. Ah, sudahlah.

"Mas Dimas mau tidur atau main sama Mbak?" kami kembali duduk berhadapan, kali ini di atas tempat tidurku. Mbak Sum dengan aroma khas yang tak pernah terdefinisi, dengan suara cempreng yang tak pernah sunyi, dengan tawa yang selalu memamerkan gigi.

Bunda, bahkan tak pernah lagi memahamiku seperti Mbak Sum. Bundaku sekarang, mungkin hanya seonggok tubuh dengan aroma dan sorot mata yang tak kukenali. Bunda yang sebenarnya ada, tapi nyatanya tak pernah ada.

Ah Bunda, semoga ia segera pulang ke taman bermainku, bersama ayah dan segudang permainan konyolnya, menyelesaikan rindu yang tak pernah lunas, hanya dengan seorang Mbak Sum.
 

2 comments:

  1. aaahh...bunda :(( *speechless

    ReplyDelete
  2. Iya, poor Dimas... :(
    Semoga Bundanya segera kuat dan berdiri tegar kembali :)
    Maturnuwun sudah kasih apresiasi, Mbak Yuyuk ^^

    ReplyDelete