March 16, 2011

Katalis

Retinaku terdistraksi ketika pendar jingga senja yang hendak merambat masuk melalui pintu kaca ruangan terhambat sekejap oleh kelebatmu. Dua atau tiga detik, kira-kira.

Kau sedang terbalut kerudung hitam, kaos longgar merah tua, celana jins panjang coklat pekat, dan sepatu olahraga putih bermotif garis ungu muda. Ya, setidaknya informasi singkat itu saja yang mampu terkumpul oleh lirikan sekilasku. Oh, tidak, aku bahkan tak melirikmu. Tentu saja mata kiriku cukup cerdas untuk mampu merekam otomatis sosokmu yang tiba-tiba muncul di ambang pintu, tanpa perlu repot melirik sedikitpun, bukan? Keping hitam mataku bahkan tak bergeser sejengkal kaki semut pun. Mereka masih setia pada gemerlap layar monitor. Tubuh jangkung ini juga cukup statis, duduk tenang menempel di kursi empuk biru, bersama tangan kanan yang betah menjamahi tetikus mungil, mengajak pointer berjalan-jalan ke beberapa halaman kesukaan.

Langkahmu tertahan. Acuhku yang kadang tingginya nyaris menyentuh ujung menara petir, tempat Pai Su Chen diasingkan, runtuh begitu saja oleh sesuatu, entah apa. Persendian dan tulang-belulang tak lagi menaati instruksi tuannya untuk tetap diam di tempat, tak bergerak. Hingga pada akhirnya, seulas senyum pendek dan anggukan kecil kuisyaratkan demi membalas pertanyaan non verbalmu. "Silakan masuk", begitu kurang lebih maksudku.

Ah, kau lagi. Si wajah polos tanpa dosa, kembali memporak-porandakan sistem pertahanan tubuhku. Mengacaukan disiplin koordinasi antar lini. Bahkan si pelatih keras kepala, bernama Gengsi, tak luput kau buat kehabisan akal. Selalu saja begitu.

Hei, tahukah kau bahwa seandainya dirimu adalah selembar artikel ilmu pengetahuan, niscaya kau adalah salah satu varietas yang selalu sukses menstimulasi otakku untuk terus mencetak berlembar-lembar pertanyaan, ini dan itu. Kau seolah dipenuhi coretan formula unik, sekaligus aneh. Tiap kali semesta menayangkanmu di hadapanku, ribuan tanya selalu jatuh dari langit, menghujan, lalu membanjir tak karuan. Denganmu, aku menjadi makhluk cerewet dadakan.

Sebenarnya siapakah dirimu? Sebelumnya, aku mengenalmu tak lebih dari rekan kerja yang hanya saling bertemu sepintas di ruang makan, dapur, atau selasar gedung. Kau dan wajahmu yang nyaris tak pernah tersapu riasan merah, hijau, kuning, dan biru seperti mereka, kaum hawa lainnya. Kau dan langkahmu yang kerap lebih mirip seperti langkah atlet jalan cepat. Kau dan sepatu ratamu, yang sepertinya tak pernah membuat lantai terketuk berulang penuh derita. Sebelumnya, kau hanya sekadar itu, bukan? Ya, seingatku.

Hingga aku tiba di suatu titik pada dimensi masa dimana tiba-tiba kau, bagiku tak lagi menjadi sekadarnya.

Lihatlah, sore mulai kadaluarsa. Kita masih larut bercengkerama tentang apa saja, bertukar cerita dan saling tertawa. Sesekali kita saling terdiam lalu mencoba memulai berbicara kembali, dan lucunya, kita selalu memulainya hampir di waktu yang bersamaan. Kau lekas tersenyum, bermaksud menunda bicaramu. Sedangkan aku tergagap bodoh, lupa semuanya. Mungkin otakku gegar akibat tertimpa senyum sederhanamu sekian detik lalu.

Ada kita, tersisa enggan di jejak kaki jingga senja. 

Aku yang menunggu malam datang dan kau yang menanti seorang kawan. Begitulah, kita selalu saja diletakkan dalam sebuah kebetulan. Kamus di otakku tak lagi berfungsi baik untuk memberi definisi. Hanya sepertinya ada sesuatu yang terkatalisasi disini, di ufuk timur hati.

3 comments:

  1. nice essay, terus berkarya nggih..anda adalh inspirasi..

    ReplyDelete
  2. ini cerita terinspirasi dari pertemuan pertama putri n kangmas ya? :D

    ReplyDelete