September 20, 2011

Jejaring Sosial, Dunia yang Berevolusi

Dunia berubah. Tepatnya, diubah. Kita semua telah mengubahnya dengan penuh sukacita dan mungkin tanpa kesadaran yang genap. Dunia kita tampaknya sudah bukan lagi berupa dimensi ruang, dengan tanah sebagai tempat berpijak dan langit luas sebagai tempat menengadah, memompa harapan. Dunia kita juga tidak lagi mewujud sebagai sesuatu yang mampu kita kenali dengan enam macam panca indera. Dunia yang begitu detil dan rinci telah terlalu banyak direduksi menjadi terlalu mini.

Semakin hari, ia terasa seperti makanan cepat saji. Instan, kilat, dan mudah. Bahkan terlalu mudah. Bagi kita, cukuplah dunia  berupa deretan status rekan-rekan, album berisi ratusan foto di berbagai kesempatan, atau kicauan spontan teman-teman dan publik figur. Kita hidup di dalamnya dan setiap hal kecil dilaporkan, diperlihatkan. Skala kepentingan pun turut bertukar posisi. Sesuatu yang penting menjadi kurang penting, begitu pula sebaliknya. Ketidakpentingan justru mampu menempati posisi pertama dalam laporan-laporan kita disana. Kesannya, semakin tidak penting maka kita akan semakin populer, lucu, dan mengasyikkan.

Demikian, tampaknya dunia tiga dimensi telah lama terjajah oleh teknologi komunikasi bernama jejaring sosial.

Jejaring sosial, sebenarnya tidak ada yang salah dengan media semacam itu. Bukan suatu perbuatan dosa dengan menjadi terhubung bersama mereka yang kita sayangi, kagumi, dan hormati. Bukan suatu penyimpangan perilaku untuk menjadi pribadi yang giat bertukar informasi dan pendapat yang bermanfaat. Saya pun percaya, jejaring sosial masih merupakan salah satu sarana efektif distribusi informasi antar komunitas di masyarakat. Tendesinya baik. Namun pelakunya, kadang menjadikan sarana berharga ini berevolusi menjadi semakin aneh, tabu, dan vulgar.

Bukankah kecerdasan teknologi selayaknya didampingi oleh kecerdasan pelakunya? Ya, bukan saja cerdas  dalam penggunaan, tetapi juga cerdas dalam perlakuan. Sudah cukup cerdaskah otak kita memilah wilayah-wilayah mana saja yang pantas dan tidak pantas kita bagikan di ruang publik? sudahkah hati menjadi cukup bijak mengendalikan kecenderungan manusiawi kita untuk mengetalasekan seluruh pencapaian pribadi atau keluarga? Sudahkah kita membangun pencitraan diri yang kuat untuk mewakili akun jejaring sosial kita? tak sekadar menjadi imitator ulung karakter akun orang lain? 

Kepantasan memang nilai relatif bagi tiap individu. Namun setidaknya, ukuran kepantasan perilaku tak serelatif ukuran kepantasan preferensi berbusana. Ia sudah menjadi semacam konvensi sosial yang rentang toleransinya tak terlalu besar.

Saya tidak tahu, apakah mereka juga merasa aneh ketika melihat dua orang atau lebih, terlihat saling berkomunikasi, sembari mata dan jemarinya sibuk menggauli ponsel masing-masing. Saya juga tidak tahu, apakah orang-orang semacam itu dikaruniai otak berganda, serupa para intelejen yang mampu membidikkan daya konsentrasinya ke beberapa objek pengamatan. Kontak mata tak lagi menjadi bagian dari suatu percakapan. Entah, apakah telinganya juga masih difungsikan dengan baik untuk sekadar mendengar cerita kawannya, atau mereka hanya sebatas hadir disana tanpa perhatian sepenuhnya. Bagi saya, pola komunikasi semacam itu, tak layak dilanjutkan. Misalkan, dua orang remaja perempuan sedang duduk berdua di taman kampus. Salah satu ingin menceritakan sebuah pengalaman bahagia pada kawannya, sedangkan kawan yang dimaksud jelas-jelas sedang sangat khusyuk menggauli situs jejaring sosial di layar ponselnya :

"Eh, tau nggak sih, kemarin akhirnya aku ketemuan loh sama si Basuki. Ih, cakep tau dia, baik lagi anaknya!"

"O iya? lucu banget sih, trus.... trus?" (Sambil tetap menatap ponsel)

Keinginan si kawan untuk terus membagi cerita bahagianya tampak lebih besar dari kesadaran dia bahwa lawan bicara sedang tidak benar-benar terhubung dengan dirinya, teruslah ia mengoceh sendirian, tetap berpikir bahwa kawannya sedang mendengarkan :

"Iya, tiba-tiba tuh dia ngajakin ketemuan, trus kita dinner bareng di cafe ABC, pake diterangin lilin-lilin aroma terapi gitu deh. Ya ampuuun, romantis bangeeet..." 

"Ya ampuuun, lucu deh, trus...trus?" (masih tertuju pada ponsel)

Si kawan mulai berhenti bercerita, berharap ada tanggapan kreatif lain, selain 'lucu banget,' 'ya ampun', dan 'trus-trus'. Tapi percuma saja, bukannya lebih kreatif, ia justru tega membanting kemudi percakapan, seenaknya :

"Eh, ya ampun ya ampun, lihat deh ini, si Parto ternyata udah in a relationship. Duh, sedih bangeeet!"

"..." 

Ketahuilah, tidak ada yang lebih menyakitkan, daripada komunikasi yang tak utuh dan terhubung sempurna.

Tingkah beberapa pengguna media jejaring sosial juga terkadang sudah melenceng jauh dari nilai-nilai kewajaran. Beranda situs selalu padat dengan ekspresi-ekspresi tabu. Setiap keluhan di tuliskan, keuangan sedang defisit diteriakkan, atasan menyebalkan dimaki-maki, suami belum pulang direngekkan,  perselisihan dengan kawan dibuka lebar-lebar, segala macam umpatan seolah halal dan memberi efek  liberal yang modern sesuai jaman, anak sedang mogok makan dipublikasikan, bukan sebagai upaya bertukar informasi dan pengalaman, tapi hanya sebagai keluhan belaka. Bahkan doa kepada Tuhan pun dituliskan disana. Mungkin, bagi mereka, kini Tuhan telah memiliki akun pribadi. Ah kawanku, bukankah doa adalah percakapan intim kita kepadaNya? Dia tak perlu terlebih dahulu membuka beranda facebook atau twitter untuk mendengar doa kita. Lantas apa pentingnya dipilih menjadi status? Ini sungguh di luar nalar saya.

Kita juga telah menjelma menjadi makhluk transparan yang seolah gatal menuntut orang lain menjadi turut transparan. Saya perhatikan, semakin banyak kawan wanita saya yang telah berkeluarga, bangga memperlihatkan foto suaminya yang kebetulan sedang tertidur pulas sambil menganga dan berliur, misalnya. Atau suami yang sedang berjongkok, mencuci beberapa ember pakaian kotor, atau membersihkan lantai kamar mandi. Suami kita, yang layak dijaga aibnya dan dijunjung kehormatannya, justru diobral di ruang publik demi kepuasan kita akan sekian puluh komentar yang datang. Ada pula, beberapa rekan yang rajin melaporkan setiap pencapaian pribadi melalui ratusan foto di akunnya. Ketika ia menikah, puluhan foto segera dipublikasikan; hamil pertama, hasil alat tes kehamilan dipamerkan; kelahiran anak pertama, euforia meledak hingga mereka harus mengunggah foto-foto anaknya yang bahkan masih merah dan belum bisa membuka mata sekalipun; foto rumah baru dari berbagai sisi, tanpa basa-basi dipajang begitu saja. Kita tahu ini semua bukan sebuah keharusan, tapi tanpa sadar, selain transparan, kita telah bertransformasi menjadi pribadi yang berlebihan.

Efeknya adalah, muncul tuntutan kepada orang lain untuk melakukan keberlebihan yang sama. 

"Mana foto nikahannya, kok nggak di upload sih? kan pengen lihat?", "Sri, baru lahiran ya? dipajang dong foto bebimu. Ih, mirip emaknya atau bapaknya ya?", "Lho, anakmu kok kurus Nem? nggak seperti anakku. Makanya, rajin kasih ASI!", "Yem, denger-denger baru beli rumah ya? difoto dong, aku pengen tau".

Kita, seolah tak diijinkan memiliki waktu untuk menikmati dan menghormati kesakralan privasi. Semua 'wajib' dibagi, disiarkan ke seantero dunia jejaring sosial. Kita berbagi karena kawan kita juga begitu, atau kita berbagi hanya karena tuntutan tak masuk akal dari mereka. Parahnya, kita berbagi hanya karena ingin dihujani komentar, sana-sini.

Manusia adalah makhluk pribadi yang berhak menyimpan sesuatu dan pandai memantaskan tingkah laku. yang sesuai dengan karakter pribadinya. Ia juga makhluk sosial yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap dampak sosial yang sekiranya nanti muncul ketika ia berbuat sesuatu di ruang publik. Bagi saya, akun pribadi tetaplah bukan kamar pribadi, kamar mandi, atau hutan belantara, yang mengijinkan kita untuk bertingkah seenaknya.

"Saya bukanlah apa yang saya tulis". Baik, jika begitu, mungkin anda adalah manusia unik dengan jemari yang mampu bergerak sendiri, memilih kata, menyusun kalimat, tanpa perintah dari perangkat lunak anda yang demikian mulia : otak dan hati.

Selamat menjadi sederhana, kawanku. Damailah bersama privasimu :)

5 comments:

  1. yaahh.. inget jaman dulu nulis segala sesuatu di buku harian (terakhir inget, dulu semua dah aku bakar.. waktu itu takut dibaca pacarku yang baru hahahaha). trus munculah blog (yang disalah gunakan), banyak orang yang gak jelas nulis buku harian di internet.. sekarang tambah fb, gara-gara si mark jekebird bilang "privacy is over".. banyak suami ngucapin met ultah lewat fb, ngasih kado virtual, mengumbar kemesraan.. "sayangku sudah makan?" atau "sini aku cium". tapi diatas semua itu, fb jadi situs mata-mata paling efektif yang pernah ada.. jadi "silakan lanjutkan bicara sendiri di fb, aku dengan senang hati mendengarkan" lumayan bisa jadi prediksi pasar :p

    ReplyDelete
  2. you write it perfectly...
    really like it!

    ReplyDelete
  3. Henri : menarik itu sepertinya, "situs mata-mata", hehe!. Itu lebih baik daripada menjadikan FB/Twitter sebagai ajang 'show off'. Bukan begitu, Papanya Qai? :)

    Dewi : maturnuwun, selamat membaca :)

    ReplyDelete
  4. Dunia teknologi semakin hari semakin canggih. Termasuk jejaring sosial kini telah marak menjadi suatu alat komunikasi untuk para penggunanya. Tetapi jejaring sosial mungkin juga dapat memberikan dampak yang negatif yang harus dihindari dan harus waspada bagi yang menggunakannya.

    ReplyDelete
  5. Trims Bu Puteri,, sangat bermanfaat buat saya...

    ReplyDelete