November 14, 2011

Isyarat

Aku menikmati wajahmu yang terpantul sempurna oleh lantai keramik beranda rumah, diam-diam.

Pagi belia ini bernama Minggu, kita kembali duduk berdua, dengan kau di ujung timur dan aku di ujung barat. Sesekali kubuang pandang pada para rumput gajah dan tanaman hias Ibu yang masih segar terkecup embun pagi. Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin kau dapati sedang memandangi pahatan yang Tuhan kerjakan pada parasmu. Pekerjaan yang menurutku sempurna, tegas, damai, dan menyenangkan. Kau masih ditemani ranselmu, kali ini tak seraksasa ransel tempo hari, mungkin kau menggantinya. Bibirmu bergerak tenang, bercerita tentang apa saja yang kau ketahui dengan baik dan belum pernah kuketahui sama sekali. Kau selalu menoleh ke arahku  sembari mengulas senyum setiap satu kalimatmu selesai, dan setiap kali itu pula, konsentrasiku mendadak bubar jalan. Aku terlalu sibuk mendidik mata supaya mereka tak terlalu berbinar riang, menatapmu.

Seekor kucing belang tiga melintas di depan pagar. Ah, sepertinya dia sedang menyeringai nakal, menertawakan muka gugupku. Sialan.

Entah apa yang membawamu kemari. Seingatku, belum pernah kita bertukar alamat rumah. Seingatku pula, kita hanya sesekali terlibat obrolan santai di tempat kerja dan beberapa kali berpapasan tak sengaja, tanpa rencana. Kesadaranku belum genap, jiwaku tercengang lalu terasa ringan hingga melayang kesana-kemari, dan otakku sepertinya baru saja pingsan, mendapatimu bertamu ke rumah, memaksaku mati gaya. Kau datang seolah ini merupakan kunjungan ke sekian kali. Bahasa tubuhmu cukup santai dan tenang. Sedangkan aku hilang diantara rimba pertanyaan monolog. Doaku, semoga ini adalah kenyataan. Namun sayang, mekanisme tubuh yang sedang kurang tertib membuatku lebih percaya bahwa pagi ini  dan semua yang terjadi di dalamnya, hanya mimpi belaka. 

Mataku mengerjap, kau masih disana. Kukerjapkan lagi dan kau tetap disana. Oh, baiklah aku  memang tak sedang bermimpi.

Waktu memulihkan semuanya, memungkinkanku menata dan mengembalikan seluruh komponen kesadaran kembali kepada tempatnya. Kita terus berbaur mencicipi kemewahan pagi. Aku mulai mampu mengacuhkan ketaktahuanku. Sementara partikel-partikel oksigen sedikit demi sedikit telah berdifusi ke dalam tubuh, membantu menjadikanku lebih waras dan normal. Aku bertanya ini dan itu dan kau menjawab pertanyaanku bagai guru taman kanak-kanak yang sedang membantu muridnya belajar hal baru. Aku melempar canda, kau melepas tawa. Sesekali gugup melintas dan aku mengabaikannya dengan baik. Sepintas kulihat Ibu sedang mengintip kita dari celah tirai ruang tamu. Sekilas pula, di batas timur, matahari mulai sibuk bertugas menghangatkan bumi, dan lihatlah, tampaknya ia tak sengaja melukis jejak cahaya jingga di wajahmu. Kau berpendar, ruang antara kita terisi biasan lembut cahaya, menjadikan semua berkerlip indah.

Pagi terasa semakin megah dan kau bagaikan makhluk surga yang baru saja diturunkan ke bumi. Aku begitu ingin mengawetkan waktu.

Hari ini bernama Minggu, ketika akhirnya kau berpamitan dan kita bertukar senyuman. Aku membiarkan mataku mengikutimu hingga kau lenyap di balik tikungan, hingga bunyi deru motormu benar-benar tak lagi terdengar dan aroma asap knalpotmu lesap terlumat udara. Aku ingin episode pagi ini terekam sempurna, tak terpenggal, bahkan untuk sepersekian detik pun. Mungkin saja dapat kuputar kembali nanti, jika rindu mulai benyali hinggap, menjahili imunitas jiwaku.

"Rindu? Ah, bahkan aku tak tahu apakah nanti aku akan merindukanmu", otakku angkat bicara. Kulihat hatiku diam, tampaknya ia sedang khidmat, mendengarkan isyarat semesta.

Satu pesan singkat masuk, mengedipkan layar telepon genggamku, dua jam setelah kau pulang.

"Terima kasih sudah mengijinkanku menemuimu, di rumah. Semoga kelak, kita punya waktu untuk kembali bertemu"

Ada namamu di akhir kalimat. Aku menyublim ke awan, kembali bertanya pada semesta, apakah ia sedang menyiapkan hadiah untukku, melalui wujudmu.

(Serial : Senyawa - Katalis)

4 comments:

  1. siapa ya ini, kok pake anonim segala? :P

    I miss you, more, anyway :)

    ReplyDelete
  2. Aaaaaa templatenya sukaaaaa bangettt.
    Aku baru tau kalo aku pernah punya temen blog kamuu loh kakaa :)) haha

    ReplyDelete
  3. Akhirnya kembali lagi ke sini, menikmati fiksi mu indi....
    selalu suka dengan rangkaian kata-katanya....
    damn... i wish bisa menulis kaya gini.

    ReplyDelete