March 05, 2009

Jujur, Menjujurkan dan Dijujuri

Bagi saya berita mengenai David dan dosen pembimbingnya adalah berita keren :)

Saya tidak akan fokus pada darah yang tercecer di lantai kampus, pada David yang sudah terkapar di taman (kabarnya terjatuh atau menjatuhkan diri dari lantai kesekian), pada si Profesor yang katanya masih belom juga baikan (hebat bener tuh profesor, udah udzur, ditikam anak muda, masih idup juga :D) atau sekalipun pada pers yang sibuk nge-blow up berita sehingga jadi semakin gak karuan ujungnya, saya jadi ngerasa berita David malah mirip berita infotainment yang isinya adalah pekiraan, dikira-kira dan mengira-ngira. 'Apakah...David benar-benaaarrr menikamm sang Prowfesorrr??, Pemirsaaa, sakhsikan invesshtigasi kami dalam SINGHLET!!!' (sambil bibir dimonyongin dan ujung mata dinaikin setengah tiang :p).

Bukan, saya tidak akan fokus pada hal-hal seperti itu.


Peristiwa David menarik saya untuk berbicara lebih lanjut mengenai hubungan dosen dengan mahasiswa. Saya gak bener-bener ngerti sih, pola hubungan akademis disono itu gimana, apa sama seperti kita-kita disini, yang masih megang unggah-ungguh, tepa selira, sungkan-sungkanan, hormat tiada tara dan sebagainya atau mungkin sudah seperti bule2 yang sepertinya (saya cuma lihat di film2 sih emang) sudah menganggap dosen sebagai kawan akademis, akrab di konteks perkawanan, tak segan melakukan kritisi2 tajam, tak malu memuji dengan tulus kehebatan dosennya ato mungkin juga sebaliknya.

Dua buah pola hubungan yang bertolak belakang bukan?

Memang sebenernya dari dua macem itu belum tentu buruk dan juga belum tentu lebih baik sih. Cuma saya pribadi kadang berpikir bahwa kita sebagai orang timur nih terlalu banyak nggrundelin protes ato ekspresi penentangan kita di belakang pengajar. Ya nggak sih?

Lihat aja, kalo suatu kali nilai kita super anjlok, bernada minor ato bahkan berbunyi fals abis, kita bisanya paling cuma manyun trus curhat sama temen2 lain : 'Anjrit!!! aku dikasih E lho sama Bu 'ini'/ Pak 'itu!!! gak abis pikir deh, kok bisa sih?? padahal UTS/UAS udah clear smua lho jreng! ah dasar orang itu emang lagi sensi sama aku! Gak banget deh dia...!!!'. Trus dengan lancarnya ditimpali oleh yang lain : 'Iya tah?! ih, emang lho dosen itu kayak gitu dari dulu, sekarang mah udah lumayan gak pelit, dulu malah smua mahasiswanya dikasih E!'.

Buset, itu dosen mungkin lagi ngefans sama Eno Lerian ato Eva Arnaz, jadinya yang kluar cuma biji E doank, hehe!!!.

See, kita hanya 'marah' di belakang punggung dosen, gak terima saat beliau sedang tidak terlihat oleh mata kita, ngrasani sampe abis kopi ato es Teh bergelas-gelas tanpa pernah punya nyali menyampaikan dengan jujur perasaan kita. Hasilnya? Kita tercetak menjadi pribadi mahasiswa pendendam, bermuka dua, ngoyo2 ngerjain tugas dan maju ke depan kelas hanya demi menyenangkan dosen kemudian berharap berbuah nilai bagus. Kita belum terbiasa dengan kejujuran.

Inget si David, saya jadi inget dengan diri saya sendiri 4 ato 3 tahun lalu. Waktu darah mahasiswa masih 'muda', saat iklim 'ketidakterimaan' masih musim bertengger di kepala saya, Setiap ada dosen yang kira2 tidak sesuai dengan feel saya, jangan harap saya bakal rajin hadir di kelas dia, ngerjain tugas2nya ato rajin melajarin mata kuliahnya. Konflik dengan beliau2 juga lumayan pernah :), dan parahnya saya tidak mencoba untuk meredam tapi malah menyalakan api persengketaan karena keyakinan bahwa 'Saya benar!'. Haha! Lucu juga kalo inget2 jaman dulu. Ekstrem. Ya, saya juga baru nyadar sekarang kalo ternyata saya sudah terlalu ekstrem nyikapin dunia perkuliahan.

Apa ya, saya sih gak pingin aneh2 sebenernya. Cuma pingin nyampein kalo 'Saya tidak sepakat dengan cara anda, saya punya cara lain, maka mari kita lihat dan bandingkan, cara mana yang lebih mampu menghasilkan'. Itu aja. Tapi rasanya hal2 kayak gitu seret banget buat dimengerti oleh beliau2, ato mungkin begitu juga dengan beliau pingin juga bilang : 'Ah, apa maumu anakku? mengapa kau begitu menentangku?'

Kadang perihal -saya lebih muda dan mereka lebih 'sepuh'- lah yang sering menyekat proses tukar pendapat antara mahasiswa dengan dosen. Kita sepatutnya memahami bahwa dosen pasti sepenuhnya mengerti dan sudah memperhitungkan tiap2 langkah yang mereka kenakan terhadap mahasiswa. Dan..., kita juga sepatutnya ingat bahwa mahasiswa juga selalu berhak untuk bertanya mengapa begini dan mengapa begitu. Bukan, bukan karena kita sudah membayar mahal untuk bersekolah 4 tahun, tapi lebih kepada bahwa memang begitulah hakekat pendidikan. Mengerti, beraksi, beralasan, koreksi, ulangi kembali. Apabila jalan A harus ditempuh, mengapa harus A? mengapa tidak B? mengapa bukan C, dan seterusnya...:).

Sudah saya bilang, ini memang bukan tentang David. Saya sama sekali gak berani berkomentar mengenai ini. Hanya kebetulan ada gurauan dari seorang kawan ketika saya bercerita padanya bahwa saya sempat kesal oleh perlakuan pihak kampus yang telah menghilangkan pasfoto saya untuk ijazah dan buku alumni. Saya bilang : 'Iya tuh, mereka sendiri yang ngilangin masa' aku yang disuruh nganter foto itu sendiri ke percetakannya?! seharusnya itu jadi tanggung jawab mereka donk??!'

Lalu dengan enteng dia ngomong : 'kamu sih gak bilang ke bapak itu, eh Pak, tau gak sih, di singapore itu ada mahasiswa menikam profesornya lho...'

Saya urung kesal, mbayangin aja kalo saya bener2 ngomong gitu ke mereka yang ngilangin foto saya tanpa rasa bersalah, yang ada malah saya dipanggilin satpam trus diproses ke bagian kemahasiswaan! dan saya tidak akan pernah merasakan atmosfer wisuda yang sudah dinanti2 oleh kedua orang tua saya. Ah, saran yang sesat! :p

Oya, saya masih terus ngikutin perkembangan pemberitaan David. Kepastian mengambang lagi nampaknya. Baca deh disini . Dijamin kalian bakal tambah bingung dan simpang siur. Hehe!

No comments:

Post a Comment