June 08, 2009

Natemi-Windarto I : Kentut, Upil dan Tembakau

Untuk Win,
yang sedang membaca,

Hai,
semoga kau tidak terkejut melihat kertas bertuliskan tinta hitam ini tiba-tiba terselinap di kamarmu, di balik pintumu. Tenang saja Win, ini bukan nota tagihan bulanan dari induk semang kosmu. Eh, ngomong-ngomong apa kau masih saja gemar menunggak iuran kamar? dasar sok pelupa.

Sebelumnya, terimakasih telah bersedia menyentuh, membuka dan membaca ini. Aku menulisnya tengah malam, waktu ayah dan ibu sudah damai dalam tidur mereka. Ya, aku tahu informasi ini sama sekali tak penting. Biasanya selarut ini aku pasti sudah memeluk guling, tapi sekarang entah mengapa kelopak mataku terasa seperti terganjal oleh sebatang tusuk gigi restoran. Aku sudah banyak kehilangan waktu istirahat malamku Win, karenanya aku sangat berharap kau sudi menyediakan waktu sebentar saja untuk mengolahragakan dua bola penglihatan di wajahmu, membaca tulisanku yang katamu dulu tak terlalu baik. Walaupun kata orang, tulisan tak baik pasti berbanding terbalik dengan paras empunya tulisan. Terbukti, bukan?

Oh ya, kau juga boleh membayangkan, aku sedang ditemani Careless Whispernya George Michael. Tidak ada suara lain, sepi sekali, melodi dan syairnya terdengar amat jernih, tulisanku mengalir begitu saja tanpa perlu campur tangan otak yang kerap mengacaukan. Mungkin ini ya Win yang membuat guru-guru kita saat menjelang ujian akhir SMP-SMA dulu rajin berpetuah : 'Baiknya kalau ingin belajar pas lewat tengah malam, anak-anak! pasti akan terekam dengan baik apa yang kalian pelajari'. Eh, Gurumu juga berpesan begitu tidak, Win?

Nah, lagunya sudah ganti. How Deep is Your Love nya BeeGees.

Aku sengaja mewujudkan surat ini pada bentuk asalnya, Win. Lembar kertas, dipenuhi tulisan dan dibubuhi tanda tangan si pengirim lalu si penerima membuka dan membacanya dengan berbagai macam kemungkinan posisi dan air muka. Bisa duduk, berdiri sambil berjalan kesana kemari, merebah di ranjang dan sebagainya, bahkan kita bisa melakukannya sembari berjongkok buang air besar. Aku tidak berharap kau benar-benar melakukannya di tempat itu. Kau jangan terlalu serius. Aku ingin kau membaca sambil menggenggam sampulnya, memegang kertas yang juga pernah ada di tanganku, dan merasakan bahwa penaku pernah ada di tiap baris kalimatnya. Bagiku dengan begini semua akan terkesan lebih nyata. Benar tidak, Win?

Membuatmu duduk melotot berhadapan dengan layar komputer, membaca suratku hingga urat-urat lehermu mengencang adalah hal yang sama sekali tidak aku inginkan. Lagipula, aku juga tak sudi apa yang kusampaikan padamu harus tercampur dengan radiasi cahaya yang hanya akan melukai keaduhaian matamu itu. Sebab hanya mereka yang paling menarik di wajahmu, menurutku. Aku juga enggan mengumpulkan suratku dengan sederet surat lain dari kawan-kawanmu atau mungkin seribu pengagummu yang selalu saja dengan bangga kau pamerkan padaku, kita memang mantan pasangan yang aneh. Bahkan Suparsiah, pasanganmu sekarang, aku tak ingin ini terkumpul bersama semua tetek bengeknya.

Surat ini haruslah datang sendiri saja, hanya antara aku, kau dan Pak POS, tentunya. Maafkan ya, untuk keegoisan ini. Hanya kali ini saja, Win. Setelah itu kau berhak melakukan apa saja padanya. Membuang, membakar, melipat-lipat sampai kecil lalu kau masukkan celengan sapimu atau kau sembunyikan diantara tumpukan baju di lemari. Tapi ingat, ini bukan lembaran uang kertas yang katanya bisa beranak jika disimpan seperti itu.

Berapa lama kita tak bertemu? Aku sedikit lupa. Aku sibuk memboroskan ingatanku pada bermacam hal disini. Aku melukis sketsa wajah orang, menulis cerpen untuk majalah-majalah remaja, berlari-lari kecil keliling perumahan setiap pagi, membersihkan rumah, mengiris bawang dan sayuran, memijat kaki ibu sampai beliau tertidur di depan televisi dan menyirami semua tanaman kesayangannya yang mulai memenuhi kebun kami. Observasi beberapa resep masakan baru juga ngotot aku lakoni. Cukup sibuk bukan? Cukup untuk tidak ribut memikirkanmu. Seharusnya.

Tapi sepertinya kau harus tau Win, hingga kini belum ada yang memanggil namaku seperti kau memanggilku, 'Nata'. Ya, memang terlihat lebih mirip dengan merek sari kelapa awetan yang akrab terjual di swalayan-swalayan, tapi aku suka. Bahkan kedua orang tuaku pun tak memiliki cara khusus untuk menyebut namaku. Mereka lebih menyukai nama lengkapku, Natemi. Aku tau, sampai saat ini pun tak ada seorang yang memanggilmu 'Win', mereka tetap saja kerap menyebutmu 'Darto', 'Ndar' atau 'Windarto'. Suparsiah juga terdengar sering memanggilmu dengan sebutan 'Mas Totok', aih! cukup unik dan kreatif. Aku tetap lebih suka 'Win'. Singkat dan akrab. Bagaimana denganmu? Kau sendiri lebih suka mana? Suparsiah marah ya, jika kau jawab pertanyaan ini?

Belum ada yang membuatku dapat dengan lepas tertawa apa adanya tanpa harus mengatur bentuk bibir supaya terlihat lebih manis -lebih baik tak usah tertawa-. Belum ada yang memarahi dan mendebatku seperti caramu, belum ada yang menghantam keangkuhanku kecuali kau dengan teori hidupmu yang nampaknya selalu saja benar. Belum ada.

Kau bahkan sering kukerjai dengan hobiku buang angin, pendengaranmu yang cukup tajam ternyata mampu menangkap bunyinya meskipun kita hanya sedang berbicara lewat telpon. 'Ah, kau kentut lagi ya Nata?!', tanyamu. 'Ndak tuh! siapa juga yang kentut?', aku berkeras menyangkal karena memang sudah lupa, benarkah tadi aku mengentutimu via telepon. 'Itu, seperti ada bunyi udara yang membentur suatu permukaan! kau pasti kentut, jangan bo'ong!', kau mengadiliku penuh emosi. Kita pun tertawa bersama, karena kau sudah sering kukentuti dan merasa frustasi karenanya. Tak apa, toh aku juga pernah harus banyak-banyak merelakan hidungku kemasukan asap rokokmu dan pernah sangat membenci rupa wajahmu setiap kau menghisap dalam-dalam cerutu kecil itu lalu memajukan bibir untuk membuat asap keluar berbentuk bulatan-bulatan kecil. Aku benci, sama seperti kau membenci hobiku buang angin.

Oh ya, satu lagi, aku juga hobi mengupil, dan ternyata kau sangat mengutuknya. Kita ini memang aneh dan pernah sangat mencintai keanehan itu, bersama.

Baiklah, sepertinya aku sudah terlalu panjang menulis ya? Kau tahu, sebenarnya aku tidak punya hal penting apapun untuk disampaikan. Surat ini pun bukan sesuatu yang penting, Win. Aku hanya ingin menulis sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah tersampaikan hingga kita kocar-kacir begini. Jari-jariku tidak bisa berhenti menulis. Aku sama sekali tak berpikir, aku hanya terus menulis mengikuti hatiku. Oh, ini terdengar sangat sentimentil. Jadi kau boleh menganggap semua tulisanku adalah sampah dan ini memang bukanlah surat yang harus dibalas. Tenang saja.

Aku sayang kamu. Itu saja. Sederhana.

Maaf untuk tidak mengatakan ini terlalu lama. Maaf untuk tidak mengucapkannya langsung dengan lisanku. Sekarang, kita sudah tak punya 'waktu' bukan? Aku mengerti, karena kita bukanlah sekedar kentut, upil dan tembakau. Kita tidak mengerti banyak hal, walaupun sepertinya tak banyak yang mampu mengerti tiga hal yang sudah kita pahami dengan amat baik dan cerdas. Objek pemahaman kita sepertinya memang bukan sesuatu yang penting. Mengapa sih kita selalu saja bangga karena memahami hal-hal tak terlalu penting untuk dipahami?

Sulit ya, Win. Karena tetap saja, cinta bukan sekedar kentut, upil dan tembakau.

Sekian dulu, sudah mulai pagi. Aku ingin berbaring sebentar. Meletakkan tubuh untuk melupakan semua kebodohan yang sudah aku tulis disini. Sampai jumpa di kehidupan mendatang. Seperti yang selalu kau katakan. Mungkin esok, lusa, setahun, dua tahun, tiga tahun, sepuluh tahun, atau hingga waktunya bumi meniadakan diri, sampai jumpa di surga, jika Tuhan kita menghendaki. Tak apa, meski nanti disana kau masih bersama Suparsiah, toh aku masih bisa melihatmu. Bukankah di surga tak akan ada pertengkaran? jadi Suparsiah tak mungkin mendampratku hanya karena melihatmu kesana-kemari atau sekedar iseng mengintipmu mandi.

Ingat Win, ini perpisahan. Tapi aku enggan membuatnya terlalu sedih dan dramatis, karena menurutku perpisahan sudah merupakan judul menyedihkan. Aku tak punya alasan untuk menyiksa perpisahan dengan tongkat-tongkat pejal kegetiran yang aku ciptakan sendiri. Ia sudah cukup berduka.

Maka berbahagialah, karena aku juga akan bahagia.

Aku,
yang kerap kentut dan mengupil didekatmu,
Natemi.

NB: Apakah aku sudah menulisnya? Aku sayang kamu.

No comments:

Post a Comment