May 08, 2010

Natemi-Windarto IV : Kembang Gula

Buat Mas,
di kebun nanas,

Maafkan jika surat ini membuatmu tak berkenan. Aku sudah menanam bibit rindu sejak berbulan-bulan lalu. Persis sepertimu yang rajin menanam bibit-bibit buah ekspor unggulan di kebun pulau seberang. Aku membenamkan biji demi biji, entah sudah berapa hektar lahan kusiangi, hingga tiba-tiba nona waktu seperti menyadarkanku, bahwa tampaknya mesti ada suatu proses perkecambahan supaya konteks menanam tidak perlu berubah menjadi mengubur. Tak tumbuh lagi.

Mengubur rindu, aku belum mau.

Kata ibu, mencintai adalah menghormati. Jadi, mungkin ini adalah bingkisan penghormatanku untuk keyakinanmu bahwa relasi lawan jenis tak selalu manis dan saling melingkupi. Kebersamaan akan tetap ada dan bergaransi dengan segel berlabelkan ‘Aku sayang kamu’ di awal kesepakatan lalu terpoles sesekali ketika kau sedang benar-benar tak ada kesibukan. Aku menghargainya, karena aku mencintaimu.

Pesan singkat yang saling kita lemparkan ke udara kemudian terbawa arus sinyal tak kasat mata, lambat laun membuatku gila. Kau tahu, seolah kita hanya dua makhluk hidup yang sedang saling mengisi kuisioner online suatu majalah keluarga. Aku mulai bosan dengan pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Mereka semakin terasa bagaikan rumus deret aritmatika yang berpola. Jawabanmu, jawabanku, selalu sama. Sampai-sampai terpikir untuk merancang jawaban otomatis dari ponselku untukmu. Aku yakin, kau pun ingin begitu. Benar saja, pesan singkat, bagi kita sudah tak lagi sakti. Mereka telah sedemikian rupa kehilangan ruhnya.

Nah, sebab itulah suratku datang. Demi rindu akan kesaktian misterius yang mampu membenturkan partikel-partikel darahku, membiarkan jantungku terus memompa namamu.

Berapa lama lagi, kebun-kebun itu akan menahanmu pulang ke kotaku? Asal kau tahu, tempat ini sedang gegap gempita. Setiap selasar jalannya dipenuhi riasan tebal beraneka warna, macam ibu muda hendak mendatangi pesta pernikahan sahabatnya, seperti perawan bergegas pergi menepati kenduri desa . Kotaku berulang tahun, kau ingat bukan? Tahun lalu, di bulan yang sama kita nyaris tak pernah melewatkan malam seribu jajanan dan hiburan. Seluruh sudut keramaian kita datangi. Kau menikmati kembang gula putih, aku mengulum gulali kuning muda.

Aku masih sering tertawa geli setiap mengingat ulah genitmu pada putri bapak penjual gulali ketika dia menawarimu mencoba gulali coklatnya. “Anaknya sudah manis kok, Pak. Saya ndak perlu beli gulali lagi.”

Muka si gadis memerah, dia tak marah. Bahkan terlihat beberapa kali mencuri pandang padamu. Ah, kau memang benar, pesonamu tersebar dimana-mana. Segala usia.

Kau masih sibuk mencuili kembang gulamu. Apakah kau sadar baru saja menerbangkan anak orang ke angkasa? 

Pulanglah, kau pasti rindu keramaian sederhana kota ini. Pertunjukan-pertunjukan rakyat yang selalu menyihirmu menjadi pertapa hutan, bersila tenang di atas rumput basah berjam-jam. Aku menghilang, semua orang lenyap. Hanya kau dan manusia-manusia pendongeng di panggung yang dipenuhi gamelan, sinden, dan wayang. Sesekali kau juga mengikuti syair tembang. Hei, tidakkah alunan musiknya terdengar menyeramkan? semua bunyi alat musik kuningan itu serasa mendengungkan panggilan mistis yang mendatangkan roh-roh halus menyeramkan. Aku mungkin terlalu berlebihan dan kau pasti tidak pernah sadar kalau aku merinding ketakutan setiap kali harus menemanimu menamatkan cerita kayangan yang tak mungkin mampu kupahami maksudnya.

Tapi bagiku, demi menagih janjimu membelikanku sebatang gulali. Aku sudi.

Hanya untuk melihatmu berjalan disampingku, menatap sepasang sandal jepit coklat tua dan jari-jari kakimu yang entah mengapa begitu besar, bundar-bundar. Mencium aroma jaket kulitmu yang telah dihuni goresan disana-sini. Mengintip ujung-ujung rambut ikalmu yang menyembul keluar dari helm biru muda pemberianku.

dan hanya untuk bersorak pelan pada langit : “Hei, dia kembali, Ngit! Menemaniku lagi!”

Maka pulanglah sebentar. Ada seribu cerita dariku, untukmu. Si Evi, tetangga sebelah rumahku, akan segera dilamar Harjo, kawan SMA-nya. Rina, putri Yu Parmi yang kau puja rujak petisnya itu baru saja melahirkan anak pertama. Perempuan katanya. Nanda, anak bandel yang menggores motormu tahun lalu, ia sudah menghuni pondok Gontor, mulai bulan lalu. Ayahnya yang mengirim dia kesana. Ibunya menangis menjadi-jadi, tak rela. Kewalahan mereka rupanya mendidik anak itu.

Lalu Agus, tetangga kampung sebelah minggu lalu datang ke rumah. Melamarku.

Ibu tak berani ikut campur. Ia serahkan semua keputusan padaku. Aku menggeleng, di depan Agus dan ibu. Tampaknya dia marah, mukanya bagai buah strawberi hasil kebunmu yang pernah kau beri untukku. Aku terlampau gugup dan nyaris menjatuhkan minuman suguhan jika saja Ibu tak cepat menimpali bahwa aku telah punya calon sendiri. Pilihanku. Kamu.

Esok paginya, Ibu bertanya padaku diantara busa-busa sabun cuci yang beterbangan di belakang rumah : “Kapan nduk, Totok melamarmu?”. Aku terus mencuci, begitu bersemangat hingga tubuh ibu di depanku seolah tertabiri busa sabun setinggi tubuhnya sendiri. Bernyanyi kecil, aku pura-pura tuli. Semoga ibu mengerti.

Bukankah itu jurus yang selalu kau pakai setiap kali aku menanyakan hal serupa? 

Nah, jadi kapan kau akan pulang? Biar aku siapkan kue-kue kesukaanmu dan kembang gula yang jelas telah kau lewatkan musimnya. Aku menanti kabarmu. Telingaku menunggu bunyi motormu menderu di depan rumah. Selepas senja, setamat adzan isya’. Seperti biasa.

 sayang kamu,
Suparsiah Annisa Handini

4 comments:

  1. mbel...
    handini-nya itu lho...
    ndak masuk...

    ReplyDelete
  2. Indira Puteri9 May 2010 at 08:48

    haha! wis kehabisan ide, comot aja mah!
    plesetin dikit :P

    ReplyDelete
  3. semoga mas totok datang membawa kabar manis semanis gulali kesukaannya...:D

    ReplyDelete
  4. Aaaammmiiinnn....
    jadi pingin nyanyi 'Mas Totok', bang toyib version :D

    ReplyDelete