July 21, 2010

Kedai Empat Menu

Setahun lalu, saya sedang menunggu.

Bersama segenap keyakinan dan pengharapan, acara pribadi berlabel 'Menunggu' ini saya habiskan di sebuah kedai sederhana berjarak beberapa meter dari rumah, ditemani secangkir teh hangat dan sepiring kacang rebus segar yang asapnya masih rajin membubung, menguapi dahi dan pipi. 

Teh dan kacang rebus sebenarnya bukan pasangan camilan kegemaran saya, terlebih kedai ini.  Bangunan berdinding kayu, berlantai tanah coklat padat dengan satu-dua rumput liar tumbuh di beberapa sudut ruangan, dan hanya memiliki empat macam menu -Kopi, Teh, Kacang Rebus, dan Pisang Goreng- juga bukan tempat favorit bagi tubuh saya. Alasannya klasik, kopi hanya akan menyiksa lambung, pisang goreng mengganggu kerongkongan, teh memaksa kantung kemih cepat penuh, sedangkan kacang rebus sangat berbakat memupuk jerawat di muka. Empat aneka ketidaknyamanan ini seolah bekerjasama membentuk formasi serang mematikan dengan menempatkan satu striker saja di muka saya, berupa interaksi berlebihan para pengunjung kedai yang seringkali melanggar garis batas urusan pribadi. Otak saya dibuat jengah. Ketika saya memejamkan mata, yang tampak hanya monster teh dan siluman kopi tampak ribut berebut kekuasaan dengan kurcaci kacang dan raksasa pisang goreng. Saya membayangkan mereka berempat tertawa-tawa angkuh, menyeringai kejam, saling berlarian, menangkap dan menghisap darah saya. Sungguh kacau dan gila.


Bagi saya, kedai ini adalah bencana. Jika bukan karena janji untuk menunggu seseorang, mustahil saya sudi berlama-lama duduk menyatukan diri dengan bangku kayu panjang yang sudah bengkok, nyaris patah di sepertiga bagiannya. Orang yang sedemikian rupa membuat hati saya percaya bahwa sebuah kedai dekat rumah akan jauh lebih baik untuk dijadikan tempat bertemu menyusun rencana masa depan dibandingkan kafe sederhana bercahaya lembut, bercat warna-warna pastel, berlatar belakang musik Jazz dengan semua pengunjung yang sibuk dengan kepentingannya masing-masing.

Begitulah, saya menunggu. Penuh percaya diri melewati sekian pagi dan sekian sore, melahap bercangkir-cangkir teh hangat dan ribuan butir kacang rebus. Saya sok sibuk mencatat setiap hal yang terlintas di kepala pada sebentuk buku catatan persegi panjang warna coklat muda, untuk akhirnya nanti disampaikan saat ia tepat duduk di depan saya, sembari menikmati langit yang akan mengantar matahari beristirahat, bersama-sama. Saya menunggu, membunuhi waktu dengan menghafal nama seluruh pengunjung kedai tanpa harus berbincang terlalu akrab. Saya menunggu, memandangi dedaunan pohon Cemara Udang yang rontok selembar demi selembar terbawa angin, memandangi langkah ringan anak-anak kecil di sekeliling kedai. Saya menunggu hingga tiba-tiba ketiadaan halaman kosong di buku catatan kecil akhirnya menyadarkan, ia tak datang. Tak pernah datang. Perjalanan di depan saya merabun dalam sekejap, jejak langkah di belakang satu persatu menghilang. Tidak ada lagi yang bisa saya perjuangkan.

Tapi bagaimanapun, ini bukan sinetron di stasiun televisi lokal. Ini realita milik makhluk bernama saya, milik hati yang sebulan penuh ber-tatto 'Aku Menunggumu' di permukaannya.  Setelah ini saya tak pernah berniat menjadi Asmirandah dalam 'Kemilau Cinta Kamila' yang mendadak membangun pabrik airmata dimana-mana, atau Marshanda dalam 'Sejuta Cinta Marshanda' yang sibuk menekuk bibir dan alis kesana kemari untuk mengesahkan kesedihan. Saya malas menangis, malas membasahi wajah dengan air asin yang nanti pasti akan terasa lengket setelah kering.

Ini adalah episode pribadi saya yang pantas diberi judul : 'Survivor : The Tea and Peanut Island', dengan latar belakang pohon teh berbuah kacang dan saya yang dijatuhkan paksa dari helikopter hijau tanpa bekal parasut sama sekali. Yes, Sedih memang valid untuk saya, tapi mungkin tubuh ini sudah terlanjur banyak menenggak teh dan kacang rebus, hingga lupa bagaimana cara yang baik untuk berduka.

Jiwa saya masih tercatat mengalami gempa berkekuatan sekian scala richter ketika satu-persatu pengunjung menawarkan beberapa potong pisang goreng dan mencicipi kopi hitam mereka. Saya juga asal mengangguk pelan demi memuaskan mereka yang datang meminta saya membagi bangku dan meja. Bahkan ketika secara tak sengaja saya berjumpa dengan seorang wanita setengah baya yang tiba-tiba membanjiri saya dengan cerita-ceritanya, membawakan kue-kue lezat buatan sendiri lalu mempersilakan saya menikmati semuanya hingga tandas, saya masih 'pusing', tidak sadar penuh. Wanita berperawakan mirip polisi wanita senior yang terus saja bercerita tanpa tahu bahwa saya sendiri sedang melepuh dimana-mana. Saya melihat dia menangis, mencaci dan mengutuki orang-orang yang bahkan tak pernah saya kenal. Lain waktu, seperti tak pernah sedih, ia menggelar gurauan dan keriangan ke seluruh penjuru kedai. Perlahan saya melapang bersama setiap hembus nafas yang terbuang ketika saya tertawa. Jiwa saya menghangat, terbius oleh ramai bahagia pengunjung lain yang terjala berjamaah oleh remah-remah lawakannya. Saya tidak tahu, apakah obat bius rasanya memang hangat?

Wanita ini terus bercerita, dan saya pun mulai lupa gempa yang membuat rumah jiwa saya porak-poranda.

Kedai dekat rumah masih saya anggap sebagai bencana terencana, yang seharusnya sudah layak ditinggalkan sejak pertama saya sadar bahwa tidak ada lagi sesuatu yang saya tunggu. Bangku bengkok ini semestinya sudah pantas diberi lambaian tangan perpisahan jika saja wanita seribu cerita itu tidak rajin menyibukkan saya dengan petuah dan dongeng-dongeng kontemporernya. Teh dan kacang rebus mungkin halal untuk saya buang jauh-jauh apabila tidak ada pengunjung-pengunjung ramah dan lalu lalang anak-anak kecil yang tidak pernah peduli luka memar saya, namun terus saja memaksa bertukar sapa dan canda.

Sedangkan di sisi lain, kedai unik ini seolah terus memproduksi berjuta sel darah putih, untuk jutaan sel darah merah saya yang masih sesekali mengucur entah dari jiwa bagian mana. Maka ketika saya tiba pada garis sadar bahwa sudah saatnya untuk segera pergi, beranjak menuju titik persimpangan tujuan, rasanya semakin sering pula saya harus menoleh ke belakang, menatap lekat kedai yang hingga sekarang tak pernah mengerti dan merasa bahwa saya telah disembuhkan olehnya.

Sekarang, dengan penuh hormat dan bangga saya gelindingkan sekeranjang bola-bola terimakasih pada semua konstelasi kedai yang membuat saya selalu merasa beruntung dan terberkahi :

Untuk Ibu Indah Mulyani, yang tanpa pernah ibu sadar, menyadarkan saya bahwa luka dan kesakitan saya tidak ada apa-apanya jika nekat dibandingkan dengan milik ibu. Bahwa Ibu masih tetap on track berjuang keras untuk dua putra tanpa harus mengandalkan ilmu cengeng wanita. Untuk cerita-cerita Ibu yang terus mengondisikan saya tetap sadar, tidak lagi berloncatan ke masa lalu. Untuk prinsip lucu tapi cukup logis ala Ibu bahwa : 'waktu bersedih itu maksimal hanya seminggu, Put. Atau kamu bakal gila dan depresi', saya sangat menghargainya.  Tetap berjuang, ya Bu. Semoga Ibu dan keluarga diberi kemudahan dan rizqi yang berlipat. Maaf untuk segera melepas pelukan erat ibu,  karena saya hanya ingin terlihat kuat.  Terimakasih.


Untuk Yusuf Wibowo, kakak saya. Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan selama kita bekerjasama. Pelajaran untuk tetap tenang dalam segala kondisi, untuk tidak selalu terburu menilai orang lain, untuk dapat melapangkan diri di medan sesempit apapun dan untuk selalu menunjukkan bahwa : 'hidup tidak melulu tentang menjadi ideal, maka jadilah pragmatis sesekali'. Anda adalah pribadi mengagumkan : santai tapi beres. Terimakasih sudah banyak berbagi cerita dalam waktu yang amat singkat. Terimakasih sudah menjadi kakak untuk saya yang masih ingusan dan kolokan ini. Anda mungkin tidak pernah tahu, saya kerja keras menahan air mata tetap pada tempatnya saat kita saling mengucap selamat tinggal. Terimakasih, semoga mimpi-mimpi luar biasa anda lekas menjelma menjadi nyata. Sekarang saya sering memutar lagu 'Cinta Satu Malam' sebagai pengingat bahwa kita pernah sama-sama stress mengendalikan kondisi lapangan. Sebuah lagu yang 'Ndak banget' memang, tapi memorinya kuat sekali :)


Untuk semua teman-teman kedai, kalian semua adalah penyembuh saya. Setiap jabat tangan dan senyum kalian, saya simpan rapi disini, hati saya. Terimakasih sudah bersama dalam kebingungan, kesenangan, kemarahan, dan kesabaran. Kalian luar biasa.


Untuk semua anak-anak kecil pengakrab kedai, mungkin langit mengirim kalian untuk menjejali jiwa saya dengan bahagia tak terbatas. Kalian bagai peri-peri kecil yang menghujani semesta saya, mengusir warna-warna gelapnya, lalu menggantinya dengan kerlingan cahaya. Terimakasih, semoga cita-cita, berkah dan rizki selalu dilapangkan bagi kalian semua.  


Untuk kamu, terimakasih sudah menjadi kamu. Terimakasih atas kebetulan-kebetulan tak terduga yang begitu menyenangkan buat saya. Terimakasih untuk tetap menciptakan pertanyaan-pertanyaan sederhana meski jawaban saya selalu terbata-bata. Semoga kamu mengerti bahwa saya seperti kehilangan kamus kata-kata begitu kamu disana. Saya tahu, ini sama sekali tak rasional, tapi saya tak lagi butuh logika untuk menyadari bahwa sesuatu telah terjadi di hati saya. Sesuatu seperti pesta kembang api di malam penuh bintang, sesuatu seperti sungai besar yang mengalir deras membawa ikan-ikan salmon oranye bertelur dan bermigrasi dari satu muara ke muara lainnya. Maaf, saya sebenarnya tidak tahu, apa hubungan kembang api dan ikan salmon dengan hati saya.  Kamu adalah ketiba-tibaan tak diundang dan buat saya, kamu menakjubkan. Ah, lihatlah, saya memang agak kurang kerjaan. Bagi wanita kebanyakan, mungkin pengakuan ini akan terasa sangat memalukan, tapi bagi saya ini adalah kejujuran yang tidak bisa disimpan sendirian. Bukankah sebagai WNI yang baik kita wajib menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keadilan sosial? dan setidaknya lega itu sudah mulai menyebar di jiwa saya, meski saya tidak pernah tahu, bagaimana hati kamu sebenarnya. 


Terimakasih juga untuk pernah bertanya : 'Nulis bukunya sudah selesai atau belum?', padahal ide saja belum saya genggam. Waktu itu, rasanya hidup saya selesai. Mati bahagia. *Baiklah, ini berlebihan* :)


Eh, bolehkah saya berdoa supaya Tuhan menjadikanmu jawaban atas doa-doa saya? Bolehkah, Tuhan? Tapi permohonan ijin ini sepertinya terlambat, saya sudah berdoa di tengah letusan kembang api, saat mata saya mengagumi langit luas bertebar bintang-bintang genit di atas lapangan sepak bola. Boleh ya, Tuhan?

Dan akhirnya tepat setahun, Kedai Empat Menu harus saya tinggalkan. Saya mengerti, ia pasti akan tetap menjadi kedai sederhana namun penuh manfaat meski tanpa salah satu pengunjung aneh dan apatis ini. Sedangkan saya, sama sekali belum tahu bagaimana cara berjalan kembali tanpa mereka semua, para penyembuh saya. Jika saja dua tangan saya mampu menjangkau, niscaya kedai ini akan saya peluk erat-erat. Tertawa bersama, sebelum saya  berjalan dan membalik badan, menyeka air mata.

Setahun lalu saya menunggu. Sekarang, saya siap melepas jangkar, mencoba berlayar lagi dengan bekal hati yang jauh lebih besar, lebih lapang dan luas. Terima kasih, semuanya. Mohon pamit untuk berlayar, ya. Saya mencintai kalian.


"I try to say goodbye and I choke
try to walk away and I stumble
'tough I try to hide it, it's clear
my world crumbles when you are not near"
(I Try-MacyGray)


14 comments:

  1. bingung bacanya...hehehe

    maksudnya gmana ya???
    tetep semangat ya...

    ReplyDelete
  2. hehe, iya ni, semua sengaja saya analogikan :D mohon maaf kalau susah memahami postingan ini. Intinya adalah saying goodbye buat tmn2 saya di kerjaan.

    Semoga teman2 saya di kerjaan ngerti ya? klo ndak, saya bakal bunuh diri, haha!

    ReplyDelete
  3. lho jadi skr dmn put?

    ReplyDelete
  4. sekarang msh d mlg, ida. Minggu depan rencana sudah meluncur ke Bandung :)
    Ndak jadi deh kita bisnis bahari, haha!

    ReplyDelete
  5. Very nice! bakat bgt jd pnulis jeng. .analogix ok. .cm 1 pertanyaan,teh kopi ma pisang grg emg da d skul,tp kcg rebus? hahahaha! mg sukses selalu buuu

    ReplyDelete
  6. hehe, kacang rebus harus diadakan, demi kemaslahatan bersama :P
    makasih bu Ni'mah, saya berdoa hal yg sama buat ibu dan teman2 SMK :)

    Amiiiinnn...

    ReplyDelete
  7. wah wah,
    keknya aq jatuh cinta sama asap asapnya kacang rebus :D

    ReplyDelete
  8. Assalamualaikum,,,
    Bu, benar ta,,bu putri sudah tidak ngajar lagi ????
    o ya..ada alamat facebook ngga bu???
    wish u All the best
    amin...

    ReplyDelete
  9. di bandung bisnis apa buk..?semakin jauh saja dirimu :(
    wah iya nih bisnis baharinya sangat terancam gagal hahahaha...

    ReplyDelete
  10. selamat berlayar yaa...semoga mencapai pulau yang diimpikan :D

    ReplyDelete
  11. Nining, iya ibu kebetulan sudah resign, ntar kalo kamu pulang prakerin ndak bakal ketemu ibu lg di skolah :) tapi sekarang banyak pengajar math baru kok, kamu pasti suka. Sukses ya, ndak boleh mutungan :P

    Ida, bisnis apa ya? masih bingung ini, masih clinguksn, hehe!

    Yuyuk, terimakasih mbak, sukses terus juga buat mbak yuyuk :)

    ReplyDelete
  12. bintang, nanti kacang rebusnya aku kirim, tapi asapnya doankya :P

    ReplyDelete
  13. salam..
    wah saya suka tuh gaya berceritanya :-)
    semoga kelak bisa bikin buku beneran (itu juga impian saya) :-D

    ReplyDelete
  14. wah, salam juga...
    ini hanya mencoba bercerita saja 'Ne, syukur kalau suka :D
    terimakasih doanya, semoga impian kamu jg segera terwujud :)

    ReplyDelete