September 29, 2010

Monolog

Oh, pukul dua malam, dan aku belum juga terpejam.

Para serangga sepertinya sudah tidur mendahuluiku. Entahlah, fenomena ini tidak biasa. Tapi mungkin mereka hanya sedang lelah saja, atau mungkin esok hari akan digelar ujian nasional serangga muda, sehingga tidak ada lagi remaja serangga yang terjaga disaat sedini ini. Ya, mungkin saja. Mereka harus bersiap, menjaga stamina dan konsentrasi untuk mengerjakan soal-soal teori umum keseranggaan. Baiklah, aku mengerti.

Tidak ada serangga berpawai. Aku terpaksa hanya ditemani bantal, guling, selimut tebal bercorak Sponge Bob, sedang berkaca-kaca memeluk Patrick, serta nyanyian katak sawah yang terdengar agak aneh dan riuh tak berirama.

Bicara mengenai katak sawah, sesungguhnya mereka kerap mengundang iri. Makhluk hijau berlendir yang selalu saja ramai dan berkecipak di kubangan air, yang berteriak, melompat, dan berdengkang untuk memanggil betinanya masuk ke peraduan, ah! mendengarkan mereka bersahutan justru menjadikan sunyiku lebih kronis. Sunyi yang tidak pernah punya tempat melapor. Sunyi yang sedang kebingungan menyembunyikan diri.

Lihatlah, katak sawah mungkin tidak tidur, sedangkan aku benar-benar kehilangan kemampuan bahkan untuk sekedar terpejam. Aku tidak bisa tidur, berbeda bukan?

Hujan menumpahkan diri lagi dan para katak semakin ribut. Telepon genggam hitam di meja pojokan kamar kupandangi senanar-nanarnya. Disini, benda itu cukup senilai jika disejajarkan dengan pengganjal pintu atau benda pejal pelempar tikus usil pengintip lemari orang. Sebenarnya ia masih baik-baik saja, hingga aku harus berada di sebuah pulau kecil dimana kehidupan masyarakatnya terjebak dalam kesederhanaan yang begitu super. Kawasan yang sama sekali belum terjangkau jaringan komunikasi dan akses informasi, tanpa sambungan arus listrik yang memadai, sarana dan prasarana transportasi, serta jaringan air bersih yang memungkinkan aku untuk hidup normal dan waras. Hanya jika aku sedang sabar saja, telepon genggamku beralih fungsi sebagai kamera dan pemutar musik. Selanjutnya, ia lebih sering terjepit di sela tempat tidur. Bulan lalu, demi menghirup udara peradaban sesaat saja, lima ratus ribu rupiah harus aku bayarkan pada bapak pemilik perahu kayu di pesisir sana. Tiga jam perjalanan dengan perahu yang kadang terlihat malas untuk tetap mengapung, tidak terlalu mahal sebenarnya untuk membiayai sebuah perjumpaan dengan suara riang mereka yang berjarak milyaran jengkal denganku.

Dua belas bulan, aku ditugaskan di pulau minimalis ini. Tepat hari ini, aku merayakan bulan ketigaku, bersama gerombolan katak sawah yang nampaknya sedang berkeluarga dan alat komunikasi yang kehilangan fungsi. Sungguh perayaan sempurna.

Setengah tiga, dini hari. Aku meringkuk mendekap kedua lutut sendiri, membelakangi kasur bermotif Phoenix Ikki, salah satu karakter Saint Seiya favoritku. Ada yang harus dilunasi sekarang juga, meskipun mungkin dinding-dinding kamar akan tertawa, menduga aku sudah gila, dislokasi jiwa. Aku meraih telepon genggam, mencari namanya, menekan tombol hijau, lalu menulikan telingaku sebentar,

Calling
Istriku ...

“Halo Sayang, aku belum mandi dua hari dan sudah makan mi instan tiga kali hari ini. Tapi aku kangen kamu, boleh ya? Baik-baiklah disana. Selamat nonton Sponge Bob, besok pagi. Titip salam buat Patrick. Aku sayang kamu...”

Sunyi kembali.

Aku menekan tombol merah, membenamkan kepala pada lipatan tubuhku sendiri, menyembunyikan air mata dari asap obat nyamuk bakar yang bergoyang, seolah menari, menghina naifku di suatu ujung pagi.

Hujan berhenti, katak sawah tetap antusias bernyanyi. Aku tidak peduli, karena hari ini rinduku sudah diakhiri. Hanya untuk hari ini. Entah, bagaimana dengan nanti.


2 comments: