November 22, 2010

Pada Sebuah Minggu

Hari Minggu, bagi saya selalu istimewa dan mengantongi cita rasa berbeda.

Bukan, ini bukan karena semata saya telah cukup lama tidak menikmati atau turut berpartisipasi aktif dalam romantisme hari Sabtu seperti layaknya anak-anak muda lain. Saya sepenuhnya mengerti bagaimana kita yang dulu sedang mulai beranjak dewasa selalu mengidolakan Sabtu sebagai hari ‘keramat’ untuk tampil lebih cantik, sibuk memilih baju dan menumpahkan minyak wangi ke sekujur badan lalu duduk manis di teras rumah, menanti bunyi knalpot sepeda motor yang mulai kita hafalkan nadanya. Ah ayolah, kalian tak perlu malu mengiyakan deskripsi saya mengenai betapa riuhnya hari Sabtu kita dulu, saat senyum masih lucu dan rok masih berwarna biru atau abu-abu. Jujur, saya juga sempat berada di fase itu, entah beberapa masa yang lalu. Saya pikir wajar untuk mengalami masa-masa mendebarkan seperti itu. Toh, saya yakin kita tidak sendirian, karena sepertinya kaum lelaki juga pernah mengalami fase-fase centil yang sama. Kalian para lelaki pasti ribut mencari pisau cukur milik papa masing-masing untuk sekedar merapikan kumis yang hanya tumbuh minimalis segaris tipis di atas bibir.

Begitulah Sabtu. Namun untuk saya, hari Minggu tetap jauh lebih unik dan memiliki tempat khusus di hati. Saya menyimpan banyak ingatan berharga disana. Ingatan yang hari ini kembali muncul ketika saya duduk di bangku kayu panjang pada sebuah warung kecil di ujung jalan, menyantap semangkuk bubur ayam hangat sembari tak sengaja menonton serial kartun pagi abadi : Dragon Ball.

Tiba-tiba saya terlempar dan mendarat empuk di atas sebidang kasur kapuk, di kamar tengah yang jendelanya terhubung langsung dengan kamar depan, milik Ayah dan Ibu. Saya sedang berada pada masa sekitar 18 tahun lalu. Pada sebuah Minggu pagi, dimana saya belum mengenal apapun, kecuali keluarga, belajar, dan bersenang-senang.

Hidung saya bahkan masih mampu membaui aromanya. Aroma tubuh sendiri yang belum akrab dengan polesan deodorant aneka rasa, aroma susu coklat buatan Ibu yang diletakkan di meja makan bersama tiga tangkup roti tawar isi mentega bertabur gula pasir, hingga aroma pohon jambu air yang sepertinya sudah cukup tua, di belakang rumah. Saya mencoba mengurutkan kembali episode-episode Minggu yang rutin, namun tak pernah sekalipun kehilangan ruhnya.

Ketika itu, anak-anak serta para remaja tanggung sedang ramai menggilai kegiatan bersepatu roda, dan saya kebetulan termasuk didalamnya. Maka bersama ayah, saat langit masih malas menghadirkan matahari, saya selalu menguasai jalanan depan rumah, memacu sepatu roda merah yang beratnya minta ampun, bekas kepunyaan kakak. Tidak ada siapapun di jalan sepanjang 30 meter itu, kecuali saya dan ayah. Semakin mahir, semakin kencang saya meluncur, semakin jauhlah rute yang disepakati. Lokasi terjauh yang pernah saya cicipi adalah Alun-alun pusat kota. Ada semacam taman umum dengan penampang jalan yang lebih mulus daripada jalanan depan rumah dan saya bebas berputar-putar disekitarnya. Waktu itu, saya seolah sedang terbang dibelai udara pagi yang masih perawan, membiarkan benda- benda di samping kanan kiri saya hanya terlihat bagai lukisan abstrak, hanya tampak sebagai warna. Menyenangkan sekali.

Bersama sepatu roda itu pula saya akhirnya mengalami luka, pertama kali. Lutut kanan menyapu aspal jalan, celana harus robek, darah menetes kemana-mana. Kami akhirnya harus pulang menggunakan jasa tukang becak, dan ayah harus rela digerutui ibu. “Anaknya kok ndak dijaga sih? Sampai babras begini!”, begitu kata ibu saat melihat lutut anak perempuannya sudah tak lagi mulus.

Saya juga masih mengingat dengan baik, ketika Minggu meletakkan saya dan kakak laki-laki saya satu-satunya, duduk bersila di ubin burgundy, menikmati menu utama makan pagi: sayur bayam beras dan udang rebus. Kalian tahu apa itu sayur bayam beras? Ya, daun bayam yang direbus bersama segenggam beras putih yang telah dihaluskan dan bumbu-bumbu pelengkap lainnya. Lezat, apalagi jika lekas disantap ketika masih hangat. Demikian, kami –saya dan kakak- sengaja tidak duduk di kursi ruang makan, karena pada jam itu ada beberapa tontonan wajib yang akan membuat hari Minggu kami tidak sah jika kami tidak menontonnya dengan khusuk. Mereka adalah Doraemon, Ksatria Baja Hitam, Saint Seiya dan Dash! Yonkuro, serial yang apabila saya tonton kembali saat ini, mungkin terasa kurang penting dan garing. Saya agak lupa urutan tayangnya, namun seingat saya, keempatnya adalah acara favorit kami berdua. Oh, tidak, saya memang tidak pernah mengikuti serial Sailormoon. Karena bagi saya, tayangan itu cenderung berlebihan dan kegenitan. Terlalu banyak pameran paha dan pantat, disana.

Delapan belas tahun yang lalu, saya masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar dan baru dipercaya ibu untuk melakukan ritual makan sendiri. Maka jadilah makanan berceceran dimana-mana, pipi tertempeli nasi dan kuah sayur bayam, hanya karena saya belum mampu membagi konsentrasi antara menggerakkan tangan dengan mata tetap setia mengarah ke layar televisi. Apalagi ketika si Kotaro Minami sedang berubah wujud mengenakan kostum ksatrianya, lalu mengejar monster aneh penuh lendir hijau, menggunakan belalang tempur yang baru keluar dari garasi, entah garasi siapa. Si Kotaro, seperti jagoan lainnya, hampir pasti menang dan nasib si monster lendir selalu berakhir tragis. Tubuhnya meleleh dan berasap, jadi abu. Ah, seru. Jantung saya selalu ikut berdebar kencang. Sementara sayur bayam dan udang rebus yang sudah bercampur dengan nasi, seringkali lupa untuk ditandaskan.

Satu lagi, setiap menonton serial Saint Seiya, saya kerap berkhayal menjadi Saori Kido, reinkarnasi Dewi Athena yang harus dilindungi oleh para Saint yang tampan itu. Wow!

Minggu juga selalu menjadi hari paling indah, karena kami dilegalkan untuk tidak tidur siang. Kebijakan internal keluarga itu kami pergunakan untuk berkeliaran, saling bertandang ke rumah tetangga yang memiliki putra dan putri seusia kami. Kakak asyik dengan komunitas perang-perangan atau gundunya, sementara saya bergabung meramaikan komunitas pasar-pasaran atau lompat tali beregu. Belum ada koneksi internet dan alat komunikasi canggih seperti sekarang, saat itu. Jadi saya tak perlu sibuk dan menjadi anti sosial hanya demi memikirkan status atau kicauan apa yang harus dimunculkan hari ini. Semuanya berjalan sederhana. Kami berkumpul, bermain, tertawa, kelelahan, lalu pulang ke rumah masing-masing. Hanya sesederhana itu.

Satu-satunya permainan agak modern yang disediakan ayah adalah Video Game. Mungkin, perangkat ini bisa dikatakan sebagai kakek buyut dari Play Station dan aneka game online yang menghipnotis kaum remaja dan dewasa sekarang. Saya tidak terlalu ahli di bidang ini. Jadi fungsi saya adalah kawan tanding amatir bagi kakak saya yang entah bagaimana dia selalu mampu menguasai semua jenis permainan, seperti Super Mario Bross, Tekken, Street Fighter, atau sejumlah permainan lain. Saya tentu saja selalu kalah. Kalaupun menang, sepertinya kakak saya menyengaja kekalahannya supaya saya berhenti merengek, mengajaknya terus bermain permainan yang itu-itu saja. Dia memang sedikit curang, saya tak pernah diberi secuilpun informasi mengenai tombol apa saja yang harus dikombinasikan supaya si Chun Li bisa mengeluarkan tendangan kilat khasnya.

Saya masih selalu mampu mengingat semuanya dengan sempurna. Juga merasakan tubuh kecil saya yang selalu menyambut hari Minggu dengan penuh sukacita dan gegap gempita.

Pagi ini, saya menikmati hari Minggu bersama semangkuk bubur ayam hangat dan tayangan kartun Dragon Ball dari sekotak televisi 15 inch, teronggok di sudut ruangan. Saya tersenyum dan menghela nafas ringan. Dragon Ball adalah serial kartun terakhir yang masih sempat kami nikmati bersama di setiap Minggu pagi, sebelum akhirnya kami tumbuh dewasa dan harus bergumul dengan kegiatan masing-masing. Saya tersenyum, karena harus rela kembali pada realita hari ini, masa kini. Semangkuk bubur ayam dan Dragon Ball, tanpa kakak yang duduk disamping saya, tanpa ayah yang antusias merawat sepedanya, dan tanpa ibu yang serius menguliti udang untuk kemudian direbus dan disantap bersama-sama.

Kisah Dragon Ball tampak semakin rumit dan susah dipahami. Ada banyak tokoh baru yang dihadirkan. Begitupun kami sekeluarga. Kakak sibuk dengan istri dan pekerjaannya. Ayah dan ibu sibuk mengasuh cucu yang sedang nakal-nakalnya. Sedangkan saya, sibuk menuntut ilmu, mencari sarapan, dan ... jatuh cinta.

Hari Minggu saya tidak lagi sesederhana hari Minggu 18 tahun lalu, ketika saya belum mengenal rumitnya matematika, mencinta, merindu, dan menunggu. Namun, saya selalu berhak memutar kembali ingatan ke masa itu. Saya selalu mampu menghibur diri dengan merasai kembali semua aroma yang ada di Minggu pagi, meletakkan jiwa saya disana, bermain-main kembali.

Sabtu bukanlah apa-apa. Minggu, bagi saya justru jauh lebih berharga. Oh, thank God, it's Sunday!

No comments:

Post a Comment