December 22, 2010

Perempuan Aljabar

Kata ayah dan ibu, dulu aku pernah memiliki seorang kakak perempuan. Anak sulung mereka, lima tahun lebih tua dariku dan dua tahun diatas kakak laki-lakiku.

Hal yang wajib aku lakukan adalah percaya penuh pada pernyataan mereka Karena toh, aku hanya bisa mengenali wajahnya lewat foto kecil yang lama tergantung di dinding ruang keluarga, di rumah yang kami tinggali semasa aku masih kecil. Kakak perempuanku itu sedang tersenyum, sebagian rambutnya dikuncir ke samping kiri, dahinya lebar dan sedikit menonjol, kulitnya berwarna seperti kulit buah salak muda, dan ia sedang mengenakan baju pelaut bermotif garis merah putih. Aku sering tak sengaja memandangi foto yang sudah terlihat usang itu dan sekilas menemukan gambar diriku sendiri di dalamnya.

Hingga sekarang pun, aku hanya bisa percaya bahwa si kakak perempuan yang menurut mereka pandainya luar biasa itu benar-benar pernah ada. Karena paling tidak, setiap tahun kami masih ‘bertemu’ dan aku selalu mendapat tugas menabur tiga bungkus kecil kembang wangi di atas gundukan tanah tempatnya dibaringkan dan membersihkan porselen biru muda dari butir-butir tanah yang terbawa pantulan air hujan lalu menempel di permukaannya.

Aku harus kehilangan kesempatan bercengkerama dengan perempuan yang susunan tulang rahang dan pipinya mirip denganku itu layaknya dua orang perempuan kakak-beradik. Atau mungkin lebih tepatnya, aku tak mampu mengingat masa, ketika jiwanya masih berwadah pada raga, bukan hanya tinggal berupa berlembar gambar dua dimensi atau gundukan tanah yang penuh taburan bunga mawar dan kamboja.

Lagipula apa yang mampu dirasakan oleh bayi berusia satu tahun ketika pada suatu malam, tiba-tiba ia harus kehilangan kakak perempuan satu-satunya? Tidak ada. Aku tidak mampu merasakan apapun. Sekalipun aku sedang berada di antara pecahan tangis para orang dewasa, raungan ibu dan ratapan ayah. Meskipun menurut pengasuhku waktu itu, tangisku juga tak kunjung reda. Ah, tapi pasti hanya karena aku sedang lapar atau kegerahan.

Seumur hidup, mungkin atau bahkan sudah pasti, aku tidak akan pernah mencicipi, bagaimana rasanya menjadi adik dari seorang perempuan.

Namun sekarang, setelah aku tumbuh dewasa, setelah semua foto kakak perempuanku disimpan rapi oleh ibu dalam setumpuk album klasik, tersusun berderet dalam lemari kayu, aku mulai sadar bahwa selama ini, tanpa pernah sadar dan sengaja, aku seolah selalu menemukan sosok perempuan yang entah mengapa, bersamanya mampu membuatku merasa aman, senantiasa nyaman bercerita, bercanda, dan tertawa, merasa terselimuti dan terlindungi, merasa bebas berbagi sudut pandang mengenai apapun, merasa halal untuk selalu menang, dan ini yang paling penting : merasa begitu lepas menjadi diri sendiri.

Sepertinya, tanpa disadari alam bawah sadarku selalu mencari tempat berteduh bernama : Kakak Perempuan.

Dan beberapa waktu belakangan, semesta kembali mempertemukanku dengan sosok luar biasa. Seorang wanita tengah baya, pengajarku.

Kalian semua pasti sudah tahu bahwa aku bukan mahasiswa superior yang berselera tinggi terhadap segala macam teorema yang tercetak dalam buku setebal lima tangkup roti tawar, seberat satu kilo beras. Tapi kali ini, kerajaan teorema itu sedang tidak menjadi tempat pilihan untuk bebas dimasuki atau ditinggalkan. Khusus semester ini, aku wajib berkawan dengan mereka. Mata kuliah bernama Struktur Aljabar Linear –lihatlah, bahkan namanya pun terdengar terlalu ‘berwibawa’ untuk bergaul denganku-, adalah salah satu kawan yang kuakrabi dengan penuh keterpaksaan.

Namun wanita ini, dengan mudahnya, seperti membalik telur mata sapi di penggorengan, berhasil membalik sinismeku pada setiap materi kuliah yang dia ajarkan, lembar demi lembar. Dia bukan tipe pengajar yang membuat sesuatu yang seram menjadi lebih seram, bukan juga tipe pengajar yang secara tidak langsung mengharuskan kami, mahasiswanya, menahan nafas gugup dan ketakutan setiap kali dia ada di depan kelas dan melafalkan ayat-ayat suci Aljabar. Wanita ini, di mataku, mampu ‘memasak’ kami dengan baik, membuat si Tuan Aljabar terasa lebih ramah lingkungan.

Aku bukan makhluk jenius, yang melihat semua hal seolah bagai deretan notasi dan angka. Aku bukan mereka yang siang malam rela berpacaran dengan buku dan pena, menyelesaikan semua soal, dengan dahi berkerut lipat tiga dan bibir lebih maju dari biasanya. Tapi setidaknya, bersama dia yang tidak pernah sekalipun menganggap remeh para mahasiswanya, aku mampu lebih menghargai daya pikirku sendiri. Sedikit demi sedikit, alergiku terhadap Aljabar, pulih. Aku sembuh, meskipun tidak terlalu sempurna.

Pada suatu kesempatan, ketika dia berkeliling kelas untuk memeriksa pekerjaan rumah kami, aku kedapatan tidak menyelesaikan satu nomor. Aku hanya bisa meringis pasrah dan berseloroh jujur bahwa untuk poin yang satu ini, konsep dasar belum mampu kutangkap dengan baik. Dia mulai mengambil penaku, menjelaskan detail permasalahan, membuat ilustrasi, analogi, lalu menanyaiku, sebagai umpan balik tanpa ada sedikitpun raut gusar.

“Proyeksi orthogonal itu, ibaratnya ada lampu yang menyinari suatu benda tepat lurus di atasnya. Nah, lalu kira-kira, bayangannya jatuh di sebelah mana?”

Aku pun resmi menjadi siswa Taman Kanak-Kanak, di depannya.

Aku berhasil melewatinya dengan pencapaian relatif baik. Tanpa trauma apapun. Dan coba bayangkan, mahasiswa macam apa yang dengan enteng berkata blak-blakan pada pengajarnya, seperti ini :

”Saya bukan orang yang rajin dan tekun, Bu. Ingatan saya juga tidak terlalu bagus untuk menyimpan semua formula di mata kuliah ini. Jadi memang kadang suka mleset kalau harus berhadapan dengan ujian. Beda dengan si Ini atau si Itu. Saya memang jauh lebih malas dari mereka”

Ya, aku tahu, pernyataanku itu sama saja dengan membunuh karakter diri sendiri. Tapi ucapanku keluar begitu saja, saat kami duduk berhadapan dan dia menanyaiku mengenai nilai ujian terakhir yang terjun bebas. Aku tak sedikitpun terbebani dengan status dia sebagai pengajar, dan aku sebagai mahasiswa aneh yang lebih suka bercanda kesana-kemari ketimbang menganiaya otak sendiri dengan segala kerumitan Aljabar.

Aku terus berbicara, seolah dia bukan lagi orang asing. Sementara, di tempat lain, di sebuah ruang bernama hati, aku mulai menyadari sesuatu. Ah, mungkin begini rasanya memiliki seorang kakak perempuan

Sekarang, semester ini sudah berakhir. Selanjutnya, hampir dapat dipastikan aku tidak akan berdekatan dengan mata kuliah Aljabar dan atau segala macam variannya. Artinya, aku sudah tak lagi bisa menjadi siswa Taman Kanak-Kanak, berbicara tanpa basi-basi, dan spontan bertanya ketika memang benar-benar belum memahami sesuatu. Pendeknya, aku sepertinya akan merasa kehilangan. Kehilangan figur seorang pengajar yang diam-diam sudah kunobatkan sepihak sebagai teman, kakak, atau bahkan ibu sendiri. Tidak benar-benar kehilangan, sebenarnya. Toh, kami masih berada di persekitaran yang sama.

Ini memang terlihat berlebihan.

Eh, tapi mungkin ini adalah cara Tuhan untuk mencoba adil pada makhlukNya yang tak tahu diri sepertiku. Dia mengambil sesuatu, lalu didatangkan sesuatu yang lain, sehingga aku mampu turut merasakan, seperti yang orang lain rasakan. Sesuatu yang didatangkan itu, termasuk si pengajar wanita ini. Kepadanya, aku wajib berterimakasih untuk setiap kesabaran dan kepercayaan penuh yang dia berikan.

Kakak perempuanku telah berpulang, berpuluh tahun lalu. Tapi aku selalu tahu, bagaimana rasanya menjadi adik dari seorang kakak perempuan yang luar biasa.

Aaaanyway, 22 Desember, sepertinya sering diperingati sebagai Hari Ibu ya? Maka kepada semua perempuan yang aku sayangi, aku berteriak pada langit, meneriakkan doa keselamatan untuk kalian semua. Selamat Hari Ibu, ya!

1 comment: