January 06, 2011

Satu Persen

Dia adalah kawan, sahabat, serta teman hidup yang demikian saya hormati. Wawasan keilmuannya luas, tapi dia selalu mengerti bagaimana cara merendahkan hati dan menyuguhkan kenyamanan pada setiap orang di sekelilingnya. Kali ini, saya berkesempatan meletakkan tulisannya di sini, sungguh suatu kesempatan langka buat saya. Kami bersepakat bahwa saya berhak melakukan perubahan disana-sini apabila memang diperlukan. Maka, tanpa bermaksud mengurangi atau menambah esensi tulisan, ada beberapa perbaikan elementer yang dikenakan pada tulisan, atas nama pelestarian penggunaan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Selamat membaca dan menikmati setiap jengkal kejujurannya!


Hampir genap sebulan beraktifitas di lingkungan baru, di ibukota propinsi mungil dengan perbandingan luas gunung lebih besar dari luas pulaunya. Nama pulau ini identik dengan nama hasil pertanian yang punya rasa pedas. Yup, benar sekali. Lombok. Pulau yang dikelilingi keindahan pantai berpasir putih dan hitam yang total APBD-nya juga semungil pulaunya, mungkin hanya mendapat bagian kurang dari  satu persen dari total APBN.

Saya harus kembali kesini, tanah kelahiran saya sendiri. Kalau meminjam istilah jaman sekarang mungkin bisa dikatakan sebagai coming back home, bukan balik kucing, meski mirip juga dengan istilah balik kandang, ah tapi tetap terdengar tidak enak. Gimana ya? terserah anda saja lah ingin menamai apa. Jadi akhirnya saya mendapat kesempatan untuk kembali berkumpul dengan keluarga, bersamaan dengan kesempatan mengabdi di lingkungan pendidikan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahuwata'ala. Ini merupakan nikmat dan karunia yang senantiasa wajib disyukuri. Belum lagi berbagai kenikmatan lain yang mungkin akan saya tuliskan pada kesempatan yang berbeda. Semua anugerah kenikmatan ini membuat saya merasa begitu beruntung dan terberkahi. 

Saya kembali dengan diiringi perasaan seperti memperoleh durian runtuh. Meskipun sebenarnya saya tidak benar-benar pernah tahu bagaimana rasanya diruntuhi durian. Mengapa durian runtuh? karena kesempatan yang diperoleh cukup langka dan menguras energi ekstra. Nah, tapi sayangnya, saya dijatuhi durian yang belum terlalu matang sehingga satu-satunya pilihan adalah menunggu para durian ini matang terlebih dahulu. Never mind, saya tetap wajib bersyukur dan menunggu dengan sabar hingga hari kematangan durian itu tiba. Proses menunggu ini tampaknya akan sangat kaya dengan pembelajaran, juga bakal menuntut saya untuk berdamai dengan aturan main si pemilik pohon durian. Sepertinya ini akan seru. Maka, mengadopsi gaya Rambo ketika akan memulai aksi perangnya, diri saya membayangkan memasang ikat kepala lalu menyingsingkan lengan baju dengan muka sangar, kemudian mengoleskan debu arang ke sekujur wajah yang sebenarnya cukup tampan ini. Saya siap berperang.

Baiklah, mari kita sedikit berbicara serius dan kabur dari jebakan analogi durian-Rambo tadi. Bahwa ternyata benar, memulai sesuatu yang baru berkaitan dengan rutinitas harian itu tidak mudah. Mungkin ini adalah tahap penyesuaian diri. Hanya sesekali muncul ketidaksengajaan, membandingkan kondisi kekinian dengan lingkungan lama. Menurut pandangan saya, produktifitas diri berkaitan erat dengan produktifitas lingkungan. Kualitas diri pun dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, dan ternyata, masih menurut saya, kualitas lingkungan sangat dipengaruhi oleh  angka indikator satu persen yang saya sebutkan sebelumnya. Nah, mungkin inilah tantangannya. Satu sisi ada kondisi nyaman tersaji di hadapan saya, namun di sisi lain hal ini mungkin saja dapat menurunkan kualitas kinerja, terkait dengan segala keterbatasan sistem yang ada.

Proses ini, bagi saya masih tampak seperti aliran sungai yang belum tampak bagian hulu-hilirnya. Belum mampu terbaca, belum dapat tertebak mengenai apa dan bagaimananya.

Sebenarnya jika dicermati, topik utama dari tulisan saya adalah pada kalimat bercetak tebal. Bukan semata hanya karena alasan dangkal mengenai hitungan satu persen, tapi karena secara perlahan kesatupersenan itu sepertinya menjadi pemicu bagi penurunan produktifitas kerja. Mau bikin ini, mesti ketuk pintu itu. Mau diskusi itu, eh dianggap terlalu dini dan sok idealis. Mau jalan sendiri, khawatir dianggap melangkahi.

Oh ayolah, saya hanya membutuhkan teman yang mau dan mampu diajak memasang ikat kepala dan menyingsingkan lengan baju, bersama-sama. Dimana sebenarnya mereka semua?

Mataram, 5 Januari 2011
(Giri Wahyu Wiriasto)

2 comments:

  1. begini tampak rapi..maturnuwun adk..:)

    ReplyDelete
  2. ditunggu tulisan selanjutnya dan Adek siap ngedit :P *alesan orang males nulis*

    ReplyDelete