June 22, 2015

Sebab Akibat

Mungkin, pepatah legendaris yang harus segera ditinjau dan direvisi adalah pepatah : "Time is Money".

Gara-gara pepatah itu, hampir seluruh umat manusia bersemangat dan berlomba untuk mengonversi waktu yang telah mereka habiskan dengan sejumlah uang. Saya tidak sedang bermaksud mengatakan bahwa kecenderungan tersebut merupakan hal salah. Ndak kok. Uang tetaplah menjadi konversi yang paling masuk akal, wajar, dan manusiawi, utamanya bagi individu-individu yang sudah berkeluarga.

Kita membutuhkannya untuk membeli lauk-pauk dan sayur-mayur, diapers dan pembayaran SPP sekolah anak-anak. Kita juga memerlukannya untuk kelengkapan 'maju mundur cantik' nya si Istri, untuk mendukung 'tongkrongan' si Suami, angsuran rumah, bahan bakar kendaraan bermotor dan tabungan. Bahkan untuk sekadar menikmati wedang ronde dan keripik melinjo bersama keluarga di pedagang kaki lima, saat akhir minggu tiba.

Semua itu perlu alat tukar. Dan sayangnya, alat tukar yang disepakati saat ini adalah uang. Kecuali kita bisa membayar SPP anak-anak dengan 5 kilo beras. Itu mungkin agak menarik.

Masa berkeluarga kadang membuat kita melepas jubah-jubah idealisme dan loyalitas yang pernah dengan jumawa kita kenakan, di jaman mahasiswa. Kita mulai bermetamorfosis menjadi manusia 'sulit' yang secara tak sadar menasbihkan slogan 'Wani Piro?' di otak kita. 

Dampaknya? Menyedihkan.

Kita selalu saja 'berhitung' dalam setiap pekerjaan, yang bahkan sudah menjadi kewajiban kita, meski mungkin dengan malu-malu dan bahasa kode. Kita seringkali memilih berhenti atau mundur dari suatu kewajiban atau pekerjaan ketika indera penciuman belum menemukan aroma kertas persegi panjang bergambar pahlawan dan tokoh-tokoh negara, didalamnya. Kita mulai malas menjadi thinker dan lebih memilih untuk menjadi eksekutor. 

Pelan-pelan, tapi pasti, orientasi kita mulai berubah, Uang adalah penyebab, tidak lagi akibat.

Saya masih ingat betul bagaimana dulu para senior kampus mengkader dan menjejali otak, hati dan jiwa kami-para mahasiswa baru yang masih unyu dan tak berdosa-dengan nilai-nilai loyalitas, kebanggaan, sense of belonging, tanggung jawab, kepemimpinan dan sederet nilai lain yang harus kami telan dan peragakan selama satu semester, bahkan lebih. Jangan tanyakan bagaimana rasanya. Pahit sekali. Itu semua bukan soal 'ploncoan' lho ya. Jelasnya, melalui masa-masa itu, saya belajar dan melekatkan banyak hal yang masih kental hingga sekarang.

Penugasan kelompok atau angkatan yang belum beres, ketidaklengkapan perbekalan, ketidaktahuan nasib teman, semua itu dapat menjadi sebab musabab meluncurnya kata 'pisuhan'* di telinga kami. Maka yang kami pahami saat itu adalah : 'Pisuhilah teman-temanmu sampai mereka beres, supaya kelak, esok hari, senior tidak memisuhimu'. Ini mungkin agak ekstrem. Tapi setidaknya, pada masa itu, cara ini cukup efektif. Meskipun mungkin orang tua saya waktu itu akan pingsan jika mereka tahu anaknya sudah terampil melafalkan idiom yang 'nggak banget', menurut mereka.

Begitulah. Perlahan kami-Mahasiswa baru yang masih ingusan itu-mulai kompak. Paham satu sama lain, berbagi tugas dan tanggung jawab, berbagi tawa, berbagi air mata, dan tetap : berbagi pisuhan.

Ketika itu, kami semua belum berkeluarga. Para senior itu pun demikian. Jangankan berkeluarga, punya pacar saja belum tentu.

Mereka semua mengkader kami tanpa imbalan sepeserpun. Malah mungkin mereka keluarkan dana dari saku pribadi, untuk operasional hajatan tahunan itu. Kami pun demikian. Entahlah, mungkin hidung-hidung kami belum terlalu peka dengan aroma khas kertas-kertas terbitan BI.

Kini, setelah menapaktilasi perjalanan lalu, saya jadi bertanya : Apakah saat ini, kita sudah berorientasi pada hal yang tepat? Bukankah semestinya, uang menjadi akibat dari segala jerih payah, usaha, loyalitas, pemikiran, karya, dan pengorbanan? Tidakkah uang atau rejeki merupakan dampak otomatis dari tindakan kita? 

Saya belum tahu jawabannya. Kalaupun saya tahu dan saya jawab, mungkin kepala ini sudah bocel-bocel dihajar teman-teman realist. Karena saya tahu, pertanyaan saya sangat ideal dan 'kurang ajar'.

Namun yang pasti, kita semua sudah sama-sama dewasa. Saya dan anda bukan lagi mahasiswa baru yang dapat dengan mudah dibariskan lalu diminta push-up berantai sebagai konsekuensi atas ke'koplak'an berjamaah yang kita lakukan tanpa atau dengan sadar. Jadi, semoga kita senantiasa bertumbuh, menjadi manusia dewasa, 'mudah' dan sederhana.

Selamat dini hari, teman-teman. Selamat santap sahur bersama keluarga :)

3 comments:

  1. usul mbak, time is money lebih baik diganti time is pleasure, karena waktu juga ingin dinikmati.. (loh)

    eniwe selamat sahur buat mbak petir sekeluarga.. :)

    ReplyDelete
  2. Halo Ade, nuwun sudah berkunjung kesini. Lha iya..., ndak masuk itu pepatahnya :D
    Selamat sahur juga buat Ade sekeluarga :)

    ReplyDelete
  3. mungkin, time is money itu.... waktulah yg bisa membeli segalanya???

    ReplyDelete