November 29, 2010

Amor

Aku selalu melihatnya duduk tenang di barisan paling belakang. Sehari di sudut kiri, hari lainnya bergeser ke sudut kanan. Setiap pagi rambutnya basah, entah oleh air atau minyak rambut pria dewasa yang baunya terlalu kuat untuk udara pagi yang masih bersih. Tampak ada sejumlah koloni rambut yang berdiri tegak pada beberapa bagian kepalanya. Aku mendeteksi bekas usaha keras untuk menidurkan rambut-rambut itu, tapi nampaknya dia belum mampu menjinakkan kebandelan rambutnya sendiri. Konspirasi senyum lebar dan binar mata jernihnya adalah keniscayaan yang selalu rajin ambil bagian menyumbangkan pusaran energi positif ke seantero lingkungan, dimanapun ia berada. Kombinasi warna kontras antara gigi dan kulit muka yang ia munculkan ketika harus tertawa, mengingatkanku pada keindahan papan catur. Hitam berdampingan dengan putih. Gelap bersanding terang.

Seperti tawa dan senyumnya, dia adalah sosok keindahan yang seimbang. Kecerdasan yang tampan. Ya, setidaknya bagiku.

Jose, begitu kawan-kawannya biasa menyapa setiap hari. Sedangkan aku lebih suka mengeja nama lengkap yang tertempel rapi di sebelah kanan depan kemeja putihnya, Amorhosea Gahinsa. Setiap kali rutinitas apel pagi dilaksanakan, aku akan selalu menyapanya dengan jabat tangan erat dan mata berbinar, “Selamat pagi, Amor. Semoga harimu menyenangkan ya!”. Dia pun tak alpa menggoyang-goyangkan tangan ala pejabat tinggi negara yang sedang mengadakan pertemuan bilateral dan menimpali ucapanku, “Selamat pagi, Ibu Tisha. Sampai jumpa nanti di kelas kami. Semoga hari Ibu juga menyenangkan!”. Aku tidak kuasa menahan gemas. Kucubit pipinya yang langsing, kemudian kita tertawa bersama.

Matahari sedang berposisi tegak lurus dengan bumi tempat aku berkumpul bersama 20 anak yang berasal dari dua desa terpencil di pulau kecil sisi timur Indonesia ini. Aku bersandar di tembok buritan, menghindari cahaya raja siang yang terlalu liar mengintervensi ruangan yang bahkan ketika masih pagi pun sudah mampu memancing keringat keluar ramai-ramai dari sarangnya. Kedua mataku giat berjuang menahan kantuk sembari memandangi satu-persatu wajah mereka yang sedang tampak sibuk berkelompok mendiskusikan tema yang 15 menit lalu aku sampaikan. Hari ini semua materi sudah selesai, sehingga untuk mengisi waktu sisa, aku sengaja menggelindingkan topik ringan namun beresensi tajam untuk saling mereka bicarakan.

Aku bertanya mengenai cita-cita. Anak-anak ini baru 2 bulan lalu merasakan atmosfer sebuah pendidikan formal dan sepotong keingintahuan mengusikku untuk menanyakan sejauh apa mereka mampu mendeskripsikan keinginan mereka sendiri.

Amor adalah satu-satunya anak yang tak tampak kebingungan atau mengerutkan dahi atas tema diskusi kali ini. Dia terlihat santai dan sesekali mencandai kawan di sebelah yang sepertinya belum menemukan jawaban. Anak berlesung pipit sempurna ini tak pernah sanggup diam dalam waktu lama. Ia berjalan kesana-kemari menghampiri setiap kelompok yang rata-rata sedang beraura kelabu, mungkin karena bagi mereka, pertanyaanku terlalu rumit untuk dijawab dan dijabarkan. Aku tetap berdiri santai di belakang, membiarkan Amor bergerak sesuka hati, karena setelah kuperhatikan, toh tak ada seorangpun merasa terganggu dengan keabstrakan dan keacakan tingkahnya. Bahkan, tak sedikit yang justru terlihat tercerahkan setelah dibanjiri lelucon dan celotehan khas Amor, anak 15 tahun yang selalu berdalih lupa mengerjakan pekerjaan rumah tapi hampir selalu sempurna mengerjakan semua soal Matematika yang aku berikan sebagai penalti kelalaiannya.

Bagiku, Amor adalah keajaiban yang dikirim Tuhan. Pada setiap senyumnya aku kembali melihat ketulusan penerimaan dan kegagahan harapan. Seorang anak pantai yang harus berdamai dengan kehidupan pulau minimalis yang sungguh jauh dari peradaban kota-kota besar, seorang anak tengah dari sembilan bersaudara yang dihidupi dari hasil penjualan ikan hasil tangkapan ayahnya di laut tepi perbatasan antar negara. Seorang anak yang mengaku sudah lupa seperti apa raut wajah ibunya karena ia masih berusia lima tahun saat juru lahirnya itu memutuskan pergi ke Arab Saudi mendulang Riyal. Seorang anak yang kadang terpaksa harus membawa serta adik bungsunya ikut duduk di kelas dan menyuapi mulut mungil itu dengan semangkuk bubur sagu di sela-sela waktu istirahat. Amor menikmati semuanya. Ia selalu bercerita padaku tentang rumah, keluarga, dan kebingungannya dengan tawa merekah begitu saja. Seolah, ceritanya adalah  cerita bergenre drama komedi. Ya, drama komedi perjuangan, mungkin.

Lamunanku terusir seketika oleh kegaduhan kelas yang semakin seru. Diskusi nampaknya sudah selesai. Aku pun menunjuk satu orang untuk kutanyai pertama kali. Amor. Kuarahkan telunjukku padanya. Dia tampak siap, aku membayangkan jawaban sudah mengantri , berbaris rapi di ujung bibirnya.

“Apa cita-citamu, Amorhosea?”

“Guru!”

“Mengapa?”

“Karena aku senang membuat orang lain menjadi pandai”

“Lalu?”

“Ya, supaya nanti, disini tak ada lagi yang susah-susah pergi ke Arab Saudi dan tak pernah kembali. Supaya para nelayan tak perlu seumur hidup menyerahkan diri pada laut dan matahari tanpa ada hasil yang berarti”

Aku berpura melihat kupu-kupu coklat yang kebetulan terbang melintas tepat di bawah atap kelas, hanya untuk menahan keseimbangan air mata, melawan gravitasi. Lalu mataku kembali bertemu mata jernih Amor yang masih tetap memandangku lekat, sejak tadi. Mata anak pantai yang tak pernah berhenti memancarkan harapan, yang jiwanya selalu menertawakan kesulitan dan memaknainya dengan cara sederhana dan bersahaja.

Ah, kamu adalah guruku, Amor.

2 comments:

  1. Amor, hiduplah sesuai cita-citamu...
    Melayani sesama dengan ilmu....

    Bu guru juga harus liat cicak ni mendengar jawabmu...

    ReplyDelete
  2. Hear...hear... :)
    Seems like being a teacher/lecturer/student is the most valuable thing in life, isn't it?

    ReplyDelete