January 07, 2011

Ketaksamaan Segitiga

Jika kita punya dua titik terpisah satu sama lain, maka jarak tempuh terdekat dari satu titik menuju titik lainnya adalah dengan menarik garis lurus diantara keduanya. Sedangkan kita semua pasti tahu, bahwa semakin pendek jarak tempuh, maka akan semakin singkat pula waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir, titik tujuan yang kita inginkan.

Bayangkan, jika ada dua kendaraan diletakkan di posisi awal yang sama, lalu para pengemudi diinstruksikan untuk memacu kendaraan masing-masing dengan kecepatan yang sama, menuju pos pemberhentian yang sama pula, namun diharuskan menempuh jalur berbeda, misalkan satu jalur merupakan garis lurus dan jalur lainnya memiliki beberapa belokan dan tikungan tajam. Nenek-nenek galau pun juga akan mampu memastikan, bahwa mobil dengan jalur lurus akan tiba lebih dahulu di titik pemberhentian terakhir.

Kunci lekas sampai adalah, tetaplah berjalan pada garis lurus. Itu saja.

Saya ingin meminjam kaidah ketaksamaan segitiga yang sering digunakan untuk menyelesaikan beberapa permasalahan matematis, bahwa jika ada tiga titik berbeda, A, B, dan C yang tak segaris, maka secara sederhana, garis (AC) akan selalu kurang dari atau sama dengan garis (AB + BC). Artinya, untuk mencapai Surabaya, dari Bandung, kita tak perlu iseng melewati Pontianak lebih dulu, berlayar dua kali, baru kemudian berlabuh di Tanjung Perak. Kecuali, kita sedang mengalami gangguan rasionalitas pikir atau sial tertipu oleh persekongkolan kejam antara masinis kereta dan nakhoda kapal.

Namun tampaknya, hidup tak sesederhana ketaksamaan segitiga.

Andaikan saja dua titik yang saya sebutkan di awal tulisan dikonversikan pada ‘satuan momentum awal dan akhir kehidupan’ maka saya sudah tidak mampu lagi menjelaskan secara presisi, garis macam apa yang telah saya bentangkan selama ini, diantara kedua titik tadi. Beberapa hari lalu, disuatu malam, ketika saya berkesempatan merunut kembali setiap fase hidup yang telah dilewati, akhirnya saya sadar, telah ‘ratusan’ belokan dan ‘puluhan’ tikungan tajam yang sengaja atau tak sengaja dilintasi. Benar bahwa saya turut ‘berkendara’ bersama mereka lainnya, tapi seringkali tiba-tiba tuas kemudi terdistraksi oleh persimpangan yang tiba-tiba muncul ditengah perjalanan. Saya pun lebih sering terpancing untuk berbelok, menikmati ruas jalan lainnya, sementara yang lain istiqomah, lurus-lurus saja.

Memang, memisalkan akhir kehidupan sebagai titik tujuan akhir saya, meskipun tepat, kelihatannya terlalu muluk dan memberi kesan sok religius. Saya seolah bagai biksuni atau ustadzah yang selalu baik dan benar serta terhindar dari perbuatan tercela, seperti ngupil di sembarang tempat, contohnya. Baiklah, karena saya bukan mereka yang tidak pernah sepakat bahwa Irfan Bachdim lumayan tampan dan facebook dan atau twitter-an itu penting, maka ijinkan saya membuat pemisalan lainnya.

Saya belum tahu persis bagaimana kira-kira wajah titik akhir saya. Jadi mari sedikit menapaktilasi jalan di belakang saya saja, yang cukup seru, kontroversial, dan menegangkan.

Selepas SMA, seperti kebanyakan sebaya lainnya, saya pun berkuliah, menjadi mahasiswi. Saya memulainya pada usia hampir 18 tahun, menuntaskannya di usia nyaris 24 tahun. Ya, enam tahun. Sekarang kalian boleh membayangkan betapa banyak belokan yang saya lewati selama masa enam tahun itu. Saya menyimpang dari 4 tahun waktu normal yang jamak dianut mahasiswa normal, atau bahkan 3,5 tahun yang antusias dikejar berebutan oleh mereka, para penggandrung epsilon-delta. Boleh dibilang, saya keasyikan menikmati belokan demi belokan, selama kurang lebih 2 tahun. Dua kali waktu bumi berevolusi mengelilingi matahari.

Saya berbelok, bahkan kadang hanya memutar. Kekurangan bahan bakar. Berasap, kehabisan air aki. Lalu sesekali tersesat, salah jalan. Destinasi pun terasa semakin jauh.

Ketika sebagian besar teman-teman, kawan akrab saya telah berhasil menamatkan studinya dan bertahta bangga di panggung penasbihan bersama para guru besar dan petinggi kampus, saya baru akan memulai mengambil mata kuliah yang memiliki rekam sejarah cukup mengerikan. Dulu, ketika mereka sedang ada di posisi saya, bergelut dengan kengerian pula, saya justru mendedikasikan diri pada puluhan rapat koordinasi antar komunitas atau organisasi yang lebih mirip oposisi frontal rektorat daripada rekan bertukar ide dan saran. Saat kawan saya berusaha menemukan cara bagaimana membuktikan bahwa barisan bilangan Cauchy itu konvergen, saya dan kawan lain yang bersudut pandang sama malah bersemangat empat lima berdiskusi spontan, menyusun strategi lanjutan dari A hingga Z, demi menawar kebijakan otoriter kampus. Saat kebanyakan dari mereka duduk manis menyimak ceramah perkuliahan keramat, saya lebih memilih melewatkannya, duduk bercengkerama santai di teras himpunan bersama kawan dari berbagai angkatan, memproyeksikan sistem kaderisasi internal yang kami anggap semakin carut-marut dan terlindas kultur akademis karbitan yang meraksasa dan hiperbola. Saat mereka mengakrabi para dosen untuk sedikit menghisap ilmunya, saya lebih nyaman bercanda dengan para pedagang makanan di kantin yang kerap galau menanyakan peluang mereka untuk tetap dapat menghuni ladang nafkahnya setelah para pejabat rektorat giat menjamahi titik-titik strategis yang telah terlanjur mendapat tempat di hati para mahasiswa. Kami bercanda tentang apa saja, termasuk iseng memberi nama alias untuk setiap tokoh antagonis birokrat, supaya kami bebas membicarakan mereka tanpa harus melirihkan suara. Kawan-kawan saya di kelas sedang melotot serius, sedangkan saya santai-santai saja, tertawa-tawa.

Mereka berangkat ditemani matahari yang masih segar, lalu kembali beristirahat pulang ketika senja mengendap datang. Aktivitas saya, seringkali malah berada pada rentang waktu yang berkebalikan.

Tapi bagaimanapun, bagi saya, tidak ada yang salah dengan jalan mereka, juga dengan jalan saya. Destinasi kami pun sepertinya sama, hanya saja entah mengapa kendaraan saya terkadang lebih menyukai jalur berkelok dan sering melupakan resiko semakin memuainya waktu tempuh. Memang, saat kondisi jiwa sedang kurang ‘sehat’, perasaan inferior muncul tiba-tiba dengan menganggap nyinyir diri sendiri bahwa saya masih berada jauh di belakang mereka, bahwa ketika teman-teman saya telah menjelma menjadi ibu-ibu penekun karir ibukota atau juru ganti popok bagi putra-putrinya, saya masih saja sibuk menyusun kata pengantar Tugas Akhir. Kabar baiknya adalah, seluruh komponen kejiwaan saya cukup jarang terjangkit penyakit yang merepotkan. Saya beranggapan, tidak pernah ada konsep jarak pada hidup sesungguhnya. Kejam rasanya ketika kita menyebutkan bahwa si ini sedang berposisi di belakang si itu, si Fulan telah mendahului si Bondan, atau beragam justifikasi posisi lainnya. Bukankah kita ini adalah para individu unik dengan titik destinasi yang bisa jadi sama namun cenderung memiliki beribu cara yang berbeda? Kita mungkin memang sedang berkendara bersama-sama, tapi tampaknya kita tidak sedang beradu kecepatan lalu mendasarkan keberhasilan pada seberapa sering kita mendahului kendaraan lain dan seberapa cepat kita sampai di garis finish. Tidak, hidup akan terasa demikian tergesa jika kita menjalaninya dengan cara seperti itu.

Hingga kini, saya masih sangat menikmati jalur yang telah  dan akan saya lalui. Sepanjang perjalanan, saya terus belajar bagaimana saling berbagi dan memaklumi bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun, ketika mendadak harus kekurangan bahan bakar atau kehabisan air aki. Saya menyadari sepenuhnya kebodohan diri sendiri ketika ternyata kendaraan saya hanya berputar tanpa kejelasan. Saya belajar menemukan titik balik, mempercayai intuisi, lalu berusaha kembali menuju destinasi. Kadang saya bosan dan kelelahan, tapi tidak akan ada yang mampu mengalahkan kepuasan ketika ada sesuatu berharga yang ditemukan secara sadar dalam satu rentang perjalanan.

Ada konsep solusi kuadrat terkecil, berakar dari konsep ketaksamaan segitiga, untuk mendapatkan solusi optimal dari suatu permasalahan model matematis. Tapi hidup, sepertinya bukan lagi sekedar model matematis yang dapat sedemikian rupa disederhanakan dan diasumsikan kondisi awalnya. Hidup, mungkin akan lebih memberi arti jika kita bersedia memperlakukannya dengan cara-cara manusiawi.

5 comments:

  1. mungkin, sebaiknya kita harus belajar tertawa lagi... :) nice story...

    ReplyDelete
  2. yes, kita sepertinya suka lupa gimana cara tertawa dengan baik dan benar :D

    ReplyDelete
  3. Hohoho... udah mau masuk pit stop ya

    Sori telat dengar kabar gembiranya (salahe dhewe ga kabar-kabur)

    ReplyDelete
  4. Koyok balapan ae, mlebu pit stop? :P

    kabar kaburnya mangke mawon, Bapak Afandy. Surely..., insyaallah :)

    ReplyDelete
  5. Mbak Indira, ijin Share ya?

    ReplyDelete