November 23, 2015

Undeniable Proof : Personal Map

Sejak kecil, saya selalu bercerita banyak hal kepada Mama tentang guru-guru saya. Saya menceritakan bagaimana mereka mengajar, bertutur kata, bercanda, marah, dan hal-hal menarik lain yang tersimpan dan berkesan dalam ingatan. Mama akan selalu memperhatikan guru mana saja yang paling banyak saya ceritakan padanya. Beliau lalu berkata, diantara bawang-bawang yang sedang teriris rapi di meja dapur :
"Kamu cerita Ibu ini terus? pasti kamu cocok ya dengan caranya ngajar?"
Kalau sudah begitu, saya cuma bisa garuk-garuk kepala. Karena saat itu, saya juga tidak tahu apa alasannya.

Saya masih ingat benar, saat masih duduk di kelas empat sekolah dasar, Ayah meminta saya belajar bahasa Inggris di suatu lembaga kursus yang didirikan oleh para mahasiswa, kawan belajar ayah. Saya dibimbing oleh seorang guru wanita. Dia lembut tapi tegas. Pembawaannya tenang dan sedikit pendiam, namun dia tetap bisa mengimbangi humor yang kami lontarkan di kelas, Dia adalah orang pertama yang mengenalkan ribetnya tata bahasa Inggris pada saya. Dia membuatnya menjadi sangat sederhana dan menyenangkan. Saya merasa adalah masa belajar yang paling menggembirakan. Saya mulai bisa mengikuti dialog Sandra Bullock dan Keanu Reeves dalam film Speed, sedikit demi sedikit, tanpa harus membaca subtitled-nya. Paling tidak, saya mulai bisa menandingi kakak saya, yang terlihat begitu keren menirukan line-line pendek si Jack.

Sebelumnya, saya kira Jack berteriak pada sopir bus : "OPOR DODOL!!!" ternyata itu adalah : "OPEN THE DOOR!!!". Alhamdulillah

Begitulah, hingga pada tahun berikutnya saya harus pindah ke lain kota.Tidak ada yang tahu seberapa sedih saya saat itu. Seberapa berat hati saya mengemasi barang-barang saya di kamar, termasuk mengepak modul-modul kursus dan buku latihan yang didalamnya telah ramai dihiasi tulisan saya dan beberapa komentar darinya.

Saya sedih. Sangat sedih. Sialnya, saya tak pandai berekspresi. Seminggu sebelum kami pindahan, saya masih mengikuti kegiatan kursus seperti biasa, dan hari itu adalah hari terakhir saya disana. Saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Kami pun berpisah tanpa tanda. Mungkin, seharusnya saya memeluknya, mengucapkan terima kasih, dan selamat tinggal, seperti Nobita yang memeluk erat Doraemon, sambil memancurkan air mata kemana-mana. Tapi saking kikuknya, saya bersikap biasa saja. Bahkan ketika ia berkata sambil melambaikan tangan : “See you next week, Putri!”, saya membalasnya dengan senyum dan lambaian tangan pula. Stupid.

Kami sempat berkorespondensi selama beberapa tahun. Ketika itu belum populer teknologi SMS, apalagi email, lebih-lebih Facebook. Jadi, disaat kakak saya sibuk surat menyurat dengan gadis cantik kelas sebelah di SMA-nya, saya malah rajin menulis surat berbahasa Inggris untuknya. Saya yang pertama memberanikan diri berkirim selembar surat, sekadar bertanya kabar dan menceritakan beberapa hal yang mungkin menurutnya tak terlalu penting. Di luar dugaan, dia membalas dengan surat berbahasa Inggris. Agak mules juga awalnya. Tapi sejak saat itu saya jadi belajar banyak. Dia tak pernah menyalahkan semua kalimat yang saya tulis. Secara tak langsung, saya justru dituntun untuk bercermin melalui suratnya, mana yang tepat, mana yang kurang pas. Bagi saya, ia adalah satu dari sedikit pribadi yang mampu memberi saya warna. Figur masa kecil yang sangat saya teladani, dalam diam.

Sekarang, saat saya sedang belajar tumbuh menjadi manusia yang mandiri dan dewasa, saya kembali dipertemukan dengan pribadi seperti itu. Figur yang berbeda, kesan yang sama, dan saya masih tetap diam dan cupu. Tidak berbinar-binar. Tidak heboh. Tidak ekspresif. Apalagi berebut minta foto bareng. Satu-satunya hal yang dapat saya lakukan adalah berusaha mencapai ekspektasinya, memberikan performa terbaik dan tidak pernah berhenti belajar. Karena hanya itulah penghargaan yang dapat saya berikan. Cara itulah yang paling mungkin membuat saya dapat tetap berinteraksi dan belajar dengannya. Hingga suatu hari saya disadarkan oleh beberapa penggal kalimat yang beliau katakan langsung di depan muka saya:
"Tugasmu bukan untuk membuat saya senang. Kamu punya tugas yang jauh lebih besar. Bukan tentang saya. Tapi tentang kamu dan cita-citamu.  Apa cita-citamu? Semua yang kamu lakukan, sekecil apapun, harus mampu membuat kamu lebih dekat dengan cita-citamu"
Saya terperangah, seperti ditampar pakai penebah kasur favorit mama. Kalimat beliau memaksa saya berpikir ulang : tentang hidup saya, cita-cita, strategi, dan target jangka pendek dan panjang yang ingin diraih. Beliau seakan sedang membentangkan selembar peta perjalanan di hadapan saya sambil bertanya :
"Kamu mau kemana?"
"Kowe arep lapo, Nduk?"
Mungkin, itu juga merupakan pertanyaan kritis bagi banyak orang yang sedang mencari peta perjalanan pribadinya. Setiap orang juga pasti akan memilih jalurnya sendiri. Demikian pula saya. Jujur saja, pertanyaan beliau lumayan meresahkan. Saya merasa berada di dunia antah berantah, di tengah hutan belantara, dengan beliau yang mengamati saya dari kejauhan, menanti seperti apa pilihan yang akan saya tentukan. Saya tidak mungkin berlari ke arahnya. Apalagi nangis minta ditimang dan dibuatkan susu botol. Semua pilihan saya harus sangat jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Saya memahaminya dan saya pun mencoba : Menggambar dan mengatur kembali denah hidup; mendaftar semua kemungkinan, kekuatan, dan kelemahan; serta menyusun strategi dan target yang diinginkan.

Sejak saat itu, saya belajar bahwa meneladani seseorang tidaklah cukup sekadar mengamati, memuji, dan menyimpannya dalam memori. Kekaguman itu harus mampu membuat kita bercermin dan bertanya pada diri sendiri : sejauh apa kualitas diri kita sendiri? Kekaguman akan menjadi percuma dan tidak berguna jika tidak membuat kita tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang lebih baik dan punya determinasi.

Tanpa itu semua, kekaguman kita hanya akan menjadi basa-basi.

Selamat sore kisanak. Siapa orang yang kau kagumi?  Sudahkah bercermin?

3 comments:

  1. bu nuk forth grade sd barkot seven elementary school

    ReplyDelete
  2. haha! itu aku lupa-lupa inget. Yang mana ya Bu Nuk itu? Perasaan aku malah takut sama beliau. Agak menyeramkan :D

    ReplyDelete
  3. Bu Putri, ceritanya juga berhasil menyadarkan sayaaaaa, matur nuwun buuuuu

    ReplyDelete